Ulama, Antara Senior Dan Paling Senior ? (Ihya At-Turots Bag. Ke 4)

oleh -140 views

بسم اله الرحمن الرحيم

الميراث من فتاوى العلماء عن جمعية إحياء التراث

Ulama, Antara Senior Dan Paling Senior ?

 

Ketahuilah –semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua- bahwa satu hal yang mesti menjadi pegangan setiap muslim, terkhusus tatkala seorang muslim tersebut menisbahkan dirinya kepada manhaj yang mulia, manhaj salafi dan menyatakan dirinya sebagai Ahlus Sunnah. Bahwa seseorang dalam menyikapi segala sesuatu dalam perkara agama, adalah dengan cara menerapkan dalil-dalil serta kaidah dengan cermat dan tepat berdasarkan apa yang telah dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, yang sejalan dengan metode salafus shaleh, serta menjauhkan diri dari hawa nafsu, fanatisme golongan dan kelompok. Tidak menyikapi sesuatu berdasarkan perasaan, naluri, suara terbanyak, kesenioran seseorang dan yang semisalnya dari berbagai macam alasan yang dibuat untuk melegitimasi sebuah pendapat, lalu menyalahkan pendapat yang menyelisihinya.

Oleh karenanya, suatu kesalahan yang sangat fatal dan bahkan suatu kebatilan yang ditampakkan oleh Al-Akh Firanda –semoga Allah mengembalikannya kepada Al-Haq, disebabkan kembali kepada kebenaran itu jauh lebih baik daripada berkelanjutan di atas kebatilan-, ketika berusaha membela kesesatan yang dimiliki Ihya At-Turots dengan cara-cara seperti yang kami sebutkan. Berkata Al-Akh Firanda:

“Jika para ulama kibar yang memberi rekomendasi saja bisa keliru dan salah, padahal mereka lebih senior dan jumlahnya lebih banyak, maka para ulama yang meng-hizbi-kan yayasan tersebut -yang notabene mereka adalah murid-murid para ulama kibar tersebut, dengan jumlah mereka yang lebih sedikit- tentunya kemungkinan untuk salah dan keliru lebih besar lagi.”

(Kaidah-kaidah Penerapan Hajr, Firanda,hal:88 atau artikel Menjawab Syubhat Menepis Tudingan : Kedudukan Yayasan Ihya’ at-Turats Kuwait dan Sikap Kita Terhadap Permasalahan Khilafiyah Ijtihadiyah (bagian satu) artikel ke 466)

Ucapan ini sama seperti apa yang disebutkan oleh Abdullah Taslim –semoga Allah meluruskan lisannya-:
“Adapun tentang syaikh Rabi’ bin Hadi –semoga Allah Azza wa Jalla menjaganya- beliau tidak termasuk ulama yang paling senior di Saudi, karena ulama-ulama lain yang lebih tua dan lebih lama belajar dibanding beliau banyak di Saudi…”
(Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE), artikel ke 338).

Firanda juga mengatakan:
“Bukankah secara naluri sangat wajar jika seseorang salafi memilih para ulama yang lebih senior –juga lebih banyak jumlahnya- untuk dijadikan tempat bertanya dan bersandar dalam masalah ini? ….”
(Kaidah –kaidah Penerapan Hajr:89 atau artikel Menjawab Syubhat Menepis Tudingan : Kedudukan Yayasan Ihya’ at-Turats Kuwait dan Sikap Kita Terhadap Permasalahan Khilafiyah Ijtihadiyah (bagian satu), artikel ke 466).

Firanda juga mengatakan tentang Ihya at Turots:
“Yayasan ini sangat terkenal dan kiprahnya diketahui oleh banyak orang.maka bagaimana mungkin para ulama tersebut menutup mata dari kesalahan-kesalahannya?! Ini mirip dengan cara hizbiyyin dalam menolak fatwa-fatwa para ulama kibar, yaitu dengan tuduhan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi’, sehingga fatwa mereka mentah, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Na’udzu billah minal hizbiyyah”
(Idem, hal: 84 atau artikel Menjawab Syubhat Menepis Tudingan : Kedudukan Yayasan Ihya’ at-Turats Kuwait dan Sikap Kita Terhadap Permasalahan Khilafiyah Ijtihadiyah (bagian satu) hal 466).

Untuk itu, maka bantahan terhadap ucapan ini dari beberapa sisi [1]:

Pertama: Merupakan satu hal yang sangat dimaklumi oleh kita sekalian, bahwa menilai kebenaran adalah dengan cara menimbangnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salaful Ummah.Tanpa harus memperhatikan dan menimbang sedikit banyaknya orang yang mengikuti kebenaran tersebut dan berapa orang yang berpijak di atasnya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-Nisaa:59)

اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS.Al-A’raf:3).

Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih sangat banyak.

Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak :1/172, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إني قترد كت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat setelah keduanya: Kitabullah dan Sunnahku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di atas telaga”. (Disahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami’: 2937)

Maka siapa saja dari kalangan para ulama yang membawakan dalil yang shahih,dan mengikuti metode salaf dalam beristidlal dan memahami dalil, maka harus diterima, tanpa melihat apakah dia seorang alim yang dianggap ‘senior’ –jika ungkapan ini benar- ataukah kurang ‘senior’. Maka membeda-bedakan para ulama dalam menerima pendapat mereka – antara senior dengan yang paling senior –secara mutlak adalah menyelisihi manhaj salaf yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam sikap fanatik terhadap satu pendapat tanpa memperhatikan hujjah-hujjah mereka.

Bayangkan saja kalau ada seorang muslim membawakan satu pendapat dari salah seorang alim yang disertai hujjah dan dalil yang jelas, lalu menolak mentah-mentah pendapat tersebut dengan alasan : “Pendapat ini menyelisihi pendapat alim yang lebih senior menurut kami”. Maka hal ini tak ubahnya seperti kaum sufi yang selalu beralasan, “kami berpegang dengan pendapat guru kami”, walaupun telah disampaikan kepada mereka dalil yang jelas yang menyelisihi pendapat mereka. Allahul musta’an. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala:

فدين المسلمين مبنى على اتباع كتاب الله وسنة رسوله وما اتفقت عليه الأمة فهذه الثلاثة هي أصول معصومة وما تنازعت فيه الأمة ردوه إلى الله والرسول وليس لأحد أن ينصب للأمة شخصا يدعو إلى طريقته ويوالي عليها ويعادي غير النبي صلى الله عليه وسلم ولا ينصب لهم كلاما يوالي عليه ويعادي غير كلام الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم وما اجتمعت عليه الأمة بل هذا من فعل أهل البدع الذين ينصبون لهم شخصا أو كلاما يفرقون به بين الأمة يوالون على ذلك الكلام أو تلك النسبة ويعادون

“Agama kaum muslimin dibangun di atas ittiba’ terhadap Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya dan apa yang telah disepakati umat ini di atasnya, maka tiga perkara ini adalah prinsip-prinsip yang terpelihara. Dan apa yang diperselisihkan oleh umat, maka mereka kembalikan kepada Allah dan rasul-Nya. Dan tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menetapkan bagi umat ini seorang figur, yang ia menyeru kepada jalannya dan dia berwala’ dan ber-bara’ diatasnya, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak boleh pula ia menetapkan untuk mereka sebuah ucapan yang ia berwala’ dan bara’ diatasnya, kecuali firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang telah menjadi kesepakatan (ijma’) umat ini. Bahkan ini termasuk perbuatan ahli bid’ah yang telah menetapkan bagi mereka seorang (figur) atau sebuah ucapan, yang mereka memecah belah umat ini dengannya, dimana mereka berwala’ dan bara’ di atas ucapan atau penisbahan tersebut”
(Dar’ut Ta’arudh, Syaikhul Islam: 1/272, Majmu’ Fatawa:20/164)

Kedua: Apa yang disebutkan oleh Al-Akh Firanda –semoga Allah mengembalikannya kepada Al-haq- dalam membagi ulama menjadi senior dan paling senior, lalu lebih mendahulukan ucapan yang paling senior di atas yang senior saja (bukan yang “paling”) secara mutlak, adalah perkara yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah dan apa yang telah diamalkan oleh para ulama Salafus Shalih radhiallahu anhum .

Adapun Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Azza wa Jalla:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS.An-Nahl:43)

Yang menjadi syahid dari ayat ini bahwa Allah Azza wa Jalla tidak membeda-bedakan para ulama – antara yang senior dan yang paling senior – namun siapa yang membawa hujjah dari mereka, maka dialah yang dipegang pendapatnya.

Adapun dari As-Sunnah, diantaranya adalah sabda Rasulullah shallalahu alaihi wasallam:

و إن العلماء ورثة الأنبياء و إن الأنبياء لم يورثوا دينارا و لا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر .

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham, namun sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya, maka dialah yang mengambil bagian yang sempurna”.
(HR.Ahmad, Tirmidzi, An-Nasaa-i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan yang lainnya dari Abu Darda’. Dishahihkan Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam Shahih al-Jami’:6297).

Adapun ucapan Firanda dkk tersebut bertentangan dengan apa yang telah menjadi pendirian para Salafus Sholeh radhiallahu anhum, maka berikut ini beberapa contoh dari sikap Salafus Salih radhiallahu anhum yang tidak membeda-bedakan – antara senior dan yang paling senior- , namun hujjah adalah pegangan dan sandaran mereka:

– Yakni hadits yang diriwayatkan Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: “Adalah Umar radhiallahu anhu memasukkan aku –dalam pertemuan-pertemuan penting- bersama para syaikh Badar (pembesar shahabat yang pernah mengikuti perang Badar), sehingga sebagian mereka merasa canggung.” Lalu ia berkata : “Mengapa engkau mengikut sertakan dia bersama kami, padahal kamipun memiliki anak-anak yang sebaya dengannya?”, maka berkata Umar: “Sesungguhnya ia berasal dari sesuatu yang telah kalian ketahui.” [2]
Lalu ia (Umar radhiallahu anhu) memanggilku pada suatu hari dan mengikut-sertakan aku bersama mereka (dalam pertemuan). Aku tidak menyangka bahwa ia memanggilku pada saat itu, melainkan untuk memperlihatkannya kepada mereka. Bertanya Umar: “Apa pendapat kalian tentang firman Allah Ta’ala (QS An Nashr 1 – 3):

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

(artinya : Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan… QS An Nashr 1)

Maka menjawab sebagian mereka: kami diperintahkan untuk mengucapkan hamdalah dan beristighfar kepada-Nya, apabila Dia telah menolong kita dan memberikan kemenangan kepada kita.

Sebagian mereka diam dan tidak mengucapkan sesuatu. Maka ia (Umar) mengatakan kepadaku : “Apakah demikian yang engkau katakan wahai Ibnu Abbas?”, maka aku menjawab: “Tidak.” Ia bertanya: “Lalu apa pendapatmu?” Aku menjawab: “Itu pertanda ajal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah memberitahukan kepadanya. Maka, “jika datang pertolongan Allah dan kemenangan – dan itu pertanda ajalmu – maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-Mu dan beristighfar kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” Maka berkata Umar radhiallahu anhu: “Akupun memahami ayat tersebut seperti yang engkau katakan.” (HR.Bukhari:8/565).

Perhatikanlah kisah ini, dimana Umar bin Khattab radhiallahu anhu memasukkan Ibnu Abbas dalam deretan para ulama yang dimintai pendapat oleh beliau, padahal Ibnu Abbas tidak termasuk orang yang paling senior –meminjam istilah Al-Akh Firanda- di kalangan mereka radhiallahu anhum. Bahkan Umar radhiallahu anhu membenarkan jawaban Ibnu Abbas dibandingkan jawaban yang lainnya dari kalangan para Shahabat yang pernah mengikuti perang Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar, padahal Ibnu Abbas radhiallahu anhuma tidak termasuk yang paling senior diantara mereka.

– Telah diriwayatkan Imam Muslim dalam shahihnya dari Sa’ad bin Abi Waqqas radhiallahu anhu bahwa pernah beliau duduk di dekat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. Lalu datanglah Khabbab, lalu berkata : “Wahai Abdullah, tidakkah engkau mendengar apa yang diucapkan oleh Abu Hurairah, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ

“Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya, lalu mensholatinya, lalu mengikutinya, hingga dikuburkan maka dia mendapatkan dua qirot dari pahala, setiap qirot seperti bukit Uhud. Dan barangsiapa yang menshalatinya, lalu kembali, maka dia mendapatkan pahala seperti satu bukit Uhud (satu qirot, pen).

Maka Ibnu Umar mengutus Khabbab kepada Aisyah untuk bertanya kepadanya tentang ucapan Abu Hurairah [3] , lalu ia kembali kepadanya untuk mengabarinya. Maka Ibnu Umar sambil menggenggam kerikil masjid ditangannya sambil meremas ditangannya, sehingga utusan tersebut kembali kepadanya. Berkatalah (utusan tersebut): “Aisyah berkata: Telah benar Abu Hurairah.”

Maka Ibnu Umar melemparkan kerikil yang digenggamnya ke tanah sambil mengatakan: “Sungguh kami telah melalaikan banyak qirat.”

Dalam riwayat lain Ibnu Umar mengatakan kepada Abu Hurairah radhiallahu anhu:

“Wahai Abu Hurairah, engkau yang paling sering bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang paling mengerti tentang haditsnya”.
(HR. Muslim, sebagian tambahan oleh Imam Ahmad. Lihat Ahkamul Janaiz karya Al-Albani rahimahullah: 89)

Perhatikanlah riwayat ini, dimana Abdullah bin Umar mengakui keilmuan yang dimiliki oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu. Dan Abu Hurairah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. Padahal kalau dilihat dari sisi kesenioran –meminjam istilah al Akh Firanda-, Abdullah bin Umar jauh lebih senior dari Abu Hurairah, sebagaimana yang telah kita ketahui hal tersebut, sebab Ibnu Umar telah masuk Islam diusianya yang masih kecil, belum baligh, lalu ikut berhijrah ke Madinah bersama ayahnya, Umar bin Khattab radhiallahu anhu. Sedangkan Abu Hurairah, masuk Islam pada tahun ketujuh, pada masa Khaibar.

Inilah yang diamalkan oleh para ulama Salaf, dimana mereka senantiasa kembali kepada al-Haq disaat mengetahuinya, walaupun yang membawa kebenaran tersebut seorang yang lebih rendah tingkat “keseniorannya” dibandingkan yang lain. Contoh lain yakni apa yang terjadi di masa Imam Bukhari rahimahullah, disaat Al-Allamah Ad-Dakhili rahimahullah – salah seorang muhaddits senior di Bukhara pada masanya – yang mana beliau memiliki halaqoh ilmu yang masyhur. Pada suatu ketika Ad Dakhili mengajar seperti biasanya, sementara Imam Bukhari mendengarkan. Berkata Ad-Dakhili dalam menyebutkan sanad hadits : “Sufyan dari Abu Zubair dari Jabir”. Maka Imam Bukhari menegurnya dan berkata: “Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim”. Demi mendengar hal itu, maka Ad-Dakhili pun menghardiknya. Namun Bukhari dengan rendahnya mengatakan: “Periksalah kitab indukmu jika engkau memilikinya”.

Maka masuklah Ad-Dakhili dan memeriksa kitab induknya. Maka dia pun mengakui kebenaran ucapan Bukhari. Namun sebelum membenarkannya, dia ingin menguji Imam Bukhari. Maka Ad-Dakhili pun bertanya: “Lalu apa yang benar wahai anak ?”, maka Imam Bukhari pun menjawab: “Az-Zubair –dia adalah Bin ‘Adi- dari Ibrahim”. Lantas Ad-Dakhili mengambil pulpen lalu membenarkannya dan berkata: “Engkau benar.”
Ada seseorang bertanya kepada Imam Bukhari: “Berapa umurmu disaat engkau membantahnya?”. Beliau menjawab: “Sebelas tahun”. [4]

Para pembaca yang budiman –semoga Allah merahmatimu-, cobalah perhatikan kisah ini,dimana seorang yang sangat yunior –yang masih berumur sebelas tahun- membenarkan kesalahan seorang alim yang senior di zamannya. Kalaulah Al-Allamah Ad-Dakhili punya pendirian semodel Firanda, maka mungkin dia akan mengatakan: “Maaf, anda siapa? Saya ini kan lebih senior dari anda !”. “Saya tetap akan berada di atas pendapat saya. Dan saya tidak perlu mengeceknya lebih lanjut. Sebab kalau saya saja yang senior ini bisa salah, maka terlebih lagi kamu yang masih yunior itu, kemungkinan salahnya lebih besar lagi”, demikian tangkisnya. Namun karena beliau bukan orang yang semodel dengan al akh Firanda, maka beliau pun merujuk kepada kitab induknya dan akhirnya mengakui kebenaran ucapan seorang yang masih yunior di kala itu.

Begitulah kebiasaan Salafus Shalih, lebih mengedepankan sikap ilmiah dan membahas setiap perkara yang diperselisihkan dengan hujjah dan dalil. Kalaulah seperti Imam Bukhari rahimahullah yang di kala itu masih yunior diterima pendapatnya karena adanya hujjah. Maka apakah kalian tidak akan menerima pendapat para Ulama yang mentahdzir dari organisasi Ihya At-Turats tersebut, walaupun mereka membawa seribu satu hujjah ? Apakah hanya dengan alasan bahwa mereka bukan yang paling senior? Mereka baru setingkat murid-muridnya saja? Ataukah setiap perkara tersebut harus dibahas berdasarkan Ilmu dan Hujjah? Jika anda seorang Salafi, maka jawablah dengan mengikuti kaidah Salafiyyah dalam mentarjih permasalahan ini.

Nah, untuk melengkapi tentang hal ini, ada baiknya kita nukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala dalam menjelaskan perkara ini [5] . Beliau berkata:

“Sesungguhnya meliputi seluruh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mungkin bagi seseorang dari kalangan umat ini. Dan dahulu Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam menyampaikan hadits, berfatwa, menghukumi atau melakukan sesuatu, lalu didengarkan ataukah dilihat oleh orang yang hadir (pada saat itu). Lalu mereka –atau sebagian mereka- menyampaikan kepada siapa yang dapat sampai kepadanya. Maka sampailah ilmu tersebut kepada siapa yang Allah Ta’ala kehendaki dari kalangan para ulama, dari kalangan para Shahabat, Tabi’in dan orang setelah mereka. Lalu di majelis yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan hadits, atau berfatwa, atau menghukumi sesuatu, atau melakukan sesuatu. Lantas disaksikan oleh orang yang sebelumnya tidak menghadiri majelis yang lalu, lalu mereka pun menyampaikan kepada siapa yang memungkinkan dari mereka. Sehingga mereka ini memiliki ilmu – yang tidak dimiliki oleh mereka yang lain – dan demikian pula sebaliknya. Dan sesungguhnya bertingkat-tingkat para ulama dari kalangan para Shahabat dan yang setelahnya dengan banyaknya ilmu dan baiknya (dalam memahami ilmu). “ Adapun pernyataan bahwa seseorang mengetahui seluruh hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka hal ini tidak dapat dibenarkan.

Ambillah pelajaran tentang hal itu dari para Khulafa ar-Rasyidin radhiyallahu anhum, mereka orang-orang yang paling berilmu dari kalangan umat ini tentang perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sunnah-nya, keadaannya. Terkhusus ash-Shiddiq radhiallahu anhu yang tidak pernah berpisah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam baik disaat hadir (mukim, tidak musafir, pen) maupun di saat safar. Bahkan dalam banyak waktunya senantiasa bersama beliau Shallallahu alaihi Wasallam, sampai terkadang diskusi di malam hari bersama beliau – Shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam berbagai urusan kaum muslimin. Demikian halnya Umar bin Khattab radhiallahu anhu, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali mengatakan: “Aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar” dan “Aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar”.

Bersamaan dengan itu, tatkala Abu Bakar radhiallahu anhu ditanya tentang pembagian warisan untuk seorang nenek? Beliau menjawab:
“Engkau (wahai nenek) tidak disebutkan sedikitpun pembagianmu dalam kitab Allah dan aku tidak mengetahui apapun tentang pembagianmu dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi saya akan bertanya kepada para shahabat”. Lalu beliau bertanya kepada mereka. Maka berdirilah Mughiroh bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah radhiallahu anhuma, lalu keduanya bersaksi bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikannya seperenam.[6]

Dan Sunnah ini pun telah disampaikan oleh Imran bin Hushain radhiallahu anhu.
Dan tidaklah mereka bertiga ini (Mughiroh bin Syu’bah, Muhammad bin Maslamah dan Imran bin Hushain) dalam keilmuan seperti Abu Bakar dan yang lainnya dari al-Khulafa Ar-Rasyidun radhiallahu anhum. Tetapi kemudian mereka mengetahui sunnah ini yang telah sepakat umat dalam mengamalkannya.

Akan halnya shahabat Umar bin Khattab radhiallahu anhu tidak mengetahui Sunnah dalam hal meminta izin. Sampai Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu yang mengabarkan kepadanya dan menjadikan orang-orang Anshar sebagai saksi yang menguatkannya.

Padahal Umar radhiallahu anhu lebih berilmu dibanding yang menyampaikan kepadanya sunnah ini.

Umar radhiallahu anhu tidak mengetahui bahwa seorang wanita mendapatkan warisan dari diyat [7] suaminya. Bahkan beliau berpendapat bahwa diyat dibagikan kepada kerabat dari ayahnya (‘aqilah). Sampai Ad-Dhohhak bin Sufyan Al-Kilabi radhiallahu anhu –beliau pernah menjadi pemimpin utusan Rasulullah shallalahu alaihi wasallam terhadap sebagian kampung- menulis kepadanya dan mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi warisan untuk istri Asyam Ad-Dhibabi radhiallahu anhu dari diyat suaminya” [8] , dan beliau meninggalkan pendapatnya karena (riwayat) tersebut,dan berkata: “Kalaulah kami tidak mendengarkan ini, niscaya kami akan berhukum dengan yang (hukum) menyelisihi hal ini.”

Dan beliau juga tidak mengetahui hukum Majusi dalam hal pembayaran jizyah (upeti). Sehingga beliau dikabari oleh Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

((سنوا بهم سنة أهل الكتاب))

“Perlakukan mereka seperti Ahli Kitab” [9]

Tatkala Umar radhiallahu anhu datang ke Sarg [10] , sampai kepada beliau kabar bahwa wabah penyakit tha’un melanda negeri Syam, lalu beliau bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang pertama yang bersama beliau, [11] kemudian dengan orang-orang Anshar, kemudian dengan yang masuk Islam pada masa penaklukan kota Makkah. Maka setiap mereka mengeluarkan pendapatnya dan tidak satu pun yang mengabarkan kepada beliau dengan (membawa) Sunnah [12] . Sampai datanglah Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhu lalu mengabarkan kepada beliau dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyikapi wabah tha’un, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(( إذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه, وإذا سمعتم به بأرض فلا تقدموا عليه ))

“Jika terjadi di daerah yang kalian ada disana, maka jangan keluar karena ingin menyelamatkan diri darinya. Dan jika kalian mendengarkan tentangnya terjadi di satu daerah, maka jangan kalian mendatanginya.” (Muttafaq alaihi dari hadits Abdurrahman bin Auf)

Dan beliau (Umar) dan Ibnu Abbas radhiallahu anhum pernah menyebut tentang orang yang ragu dalam sholatnya (apakah dia berhadats atau tidak, pen) dan belum sampai kepadanya Sunnah yang berkenaan tentang hal tersebut. Sampai Abdurrahman bin Auf meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sabdanya, bahwa hendaknya dia menepis keraguan tersebut dan membangun diatas apa yang ia yakini.

Dan pernah dalam satu safar, lantas berhembuslah angin, maka Umar berkata: “Siapa yang memberitakan kepada kami tentang angin?”

Maka berkata Abu Hurairah radhiallahu anhu: “Maka sampai kepadaku (pertanyaan tersebut) sedangkan saya berada di barisan terakhir. Maka aku hentakkan kendaraanku sampai aku menemuinya, lalu aku mengabarkannya tentang apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam disaat berhembusnya angin.”

Jelaslah bahwa beberapa permasalahan ini tidak diketahui Umar radhiallahu anhu hingga disampaikan kepada beliau (tentang sunnah) melalui orang yang tidak sepertinya (dalam hal keutamaan). [13]

Dan masih ada beberapa permasalahan lain, yang tidak sampai kepada beliau sunnahnya dalam perkara tersebut, maka beliau menetapkan hukum atau berfatwa tidak dengan sunnah. Seperti apa yang beliau tetapkan dalam hukumnya tentang pembayaran diyat dari jari-jemari (yang terpotong, sebagai ganti qishash): “Bahwa hal tersebut tergantung manfaat jarinya.” Dan Abu Musa dan Ibnu Abbas radhiallahu –yang Umar jauh lebih berilmu dari keduanya- memiliki ilmu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ini dan ini sama – yaitu ibu jari dan jari kelingking”.

Maka tatkala Sunnah ini sampai kepada Muawiyah radhiallahu anhu pada masa pemerintahannya, maka beliau berhukum dengannya. Dan Kaum muslimin pun mengikutinya.

Hal itu tentunya bukanlah merupakan aib pada diri Umar radhiallahu anhu disaat tidak sampai kepada beliau suatu hadits. [14]

Demikian halnya beliau radhiallahu anhu pernah melarang orang yang berihram untuk memakai wangi-wangian sebelum memulai ihramnya dan sebelum berangkat menuju Makkah setelah melempar Jamratul ‘Aqobah. Beliau dan anaknya, Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma dan selainnya termasuk dari shahabat yang mulia, namun tidak sampai kepada mereka hadits Aisyah radhiallahu anha yang berkata:

((طيبت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم لإحرامه قبل أن يحرم ,ولحله قبل أن يطوف ))

“Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ihramnya sebelum dia berihram dan pada saat halalnya sebelum dia Thawaf” [15] .

Beliaupun memerintahkan kepada orang yang memakai khuf untuk menyapu di atasnya hingga ia melepaskannya, tanpa ada batasan waktu, dan segolongan dari ulama Salaf mengikuti pendapat beliau dalam hal ini. Kenyataannya, tidak sampai kepada mereka hadits-hadits yang menjelaskan tentang batasan waktu yang telah shahih pada riwayat sebagian mereka yang keilmuannya di bawah mereka. Kendati sungguh telah diriwayatkan tentang hal ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari berbagai sisi yang shahih.

Juga tentang shahabat Utsman radhiallahu anhu, beliau tidak mempunyai ilmu tentang seorang yang ditinggal mati suaminya untuk menghabiskan masa ‘iddahnya di rumah kematian. Dan Nabi shallallahu alaihi wasalam mengatakan kepadanya:

“Tinggallah engkau di rumahmu sampai selesainya ketetapan ‘iddah” [16]

Maka (riwayat tersebut) dijadikan pegangan oleh Utsman radhiallahu anhu.

Dan suatu ketika dihadiahkan kepada beliau (yaitu Utsman radhiallahu anhu, pen) hewan buruan yang diburu untuk diberikan kepadanya, maka beliau berkeinginan untuk memakannya. Sehingga Ali radhiallahu anhu mengabarkan kepadanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menolak daging yang dihadiahkan kepadanya.”[17]

Shahabat Ali radhiallahu anhu pernah berkata:

(كنت إذا سمعت من رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم حديثا نفعني الله بما شاء أن ينفعني منه, وإذا حدثني غيره استحلفته,فإذا حلف لي صدقته,وحدثني أبو بكر –وصدق أبو بكر- وذكر حديث صلاة التوبة المشهور )

“Adalah aku jika mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah hadits yang Allah memberi manfaat kepadaku dengannya dengan kehendak Allah dalam memberi manfaat kepadaku. Dan jika selainnya memberitakan kepadaku hadits, maka aku memintanya bersumpah, maka jika ia bersumpah, maka aku pun membenarkannya. Dan Abu Bakar telah memberitakan kepadaku –dan telah jujur Abu Bakar- , lalu beliau menyebutkan hadits tentang sholat taubat yang masyhur [18] .

Beliau (Ali radhiallahu anhu,pen) dan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berfatwa bahwa “Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, agar menetapkan masa ‘iddah yang paling lama waktunya” dan tidak sampai kepada mereka sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiallahu anha – disaat ditinggal mati suaminya – Sa’ad bin Khaulah -, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkan fatwa untuknya bahwa masa akhir ‘iddahnya adalah dengan melahirkan kandungannya [19] .

Beliau juga bersama Zaid, Ibnu Umar dan selainnya radhiallahu anhum berfatwa bahwa “Wanita yang menikah dalam keadaan belum ditetapkan maharnya hingga suaminya meninggal, maka tidak ada mahar baginya”, dan tidak sampai kepada mereka Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah Barwa’ bintu Wasyiq radhiallahu anha. [20]

Ini merupakan bab yang sangat luas, yang dinukilkan dari beliau Shallalahu alaihi wasallam dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam jumlah yang sangat banyak sekali. Adapun yang dinukil darinya dari selain mereka, maka tidak mungkin bisa mencakupnya, sebab mencapai ribuan.

Maka mereka (para shahabat Radhiallahu anhum,pen) adalah yang paling berilmu dari kalangan umat ini dan yang paling faqih, paling bertaqwa dan yang paling mulia. Sedangkan yang setelah mereka lebih banyak kekurangannya. Dan lebih tentu tersamarkannya atas mereka beberapa Sunnah. Dan ini tidak memerlukan penjelasan.

Maka barangsiapa yang meyakini bahwa semua hadits yang shahih telah sampai kepada setiap Imam, atau Imam tertentu, maka sungguh dia keliru dengan kekeliruan yang parah lagi buruk. (Raf’ul Malaam ‘an Al-Aimmatil A’laam:9-17).

Semoga apa yang telah kami nukilkan dari ucapan Syaikhul Islam rahimahullah Ta’ala ini bermanfa’at bagi kita semua, terkhusus untuk Al-Akh Firanda dkk.

Ketiga: Anggaplah bahwa para ulama yang mentahdzir dari Ihya At-Turots ‘hanya dari kalangan senior’ dan bukan ‘yang paling senior’ – menurut istilah Firanda dan Ibnu Taslim-.Akan tetapi bukankah seorang ‘alim dengan kelebihan ilmu yang dimilikinya menyebabkan dia menjadi paling senior dan terangkat dari derajat senior saja? Walaupun tingkat ke-paling senioran tersebut dalam bidang tertentu, seperti al-Jarh wat Ta’dil, atau yang lainnya. Oleh karenanya, Umar bin Khattab radhiallahu anhu menyejajarkan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dalam deretan yang paling senior, sebagaimana yang telah kami sebutkan riwayatnya. Dan Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma mengakui ke-paling senioran Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula yang lainnya.

Maka oleh karena itu, jika ada qorinah (penguat) yang mengangkat derajat seorang alim yang senior saja, maka hal tersebut dapat mengangkatnya ke derajat yang paling senior – dengan faktor tertentu yang telah kita sebutkan sebelumnya-. Ambil saja contoh Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah Ta’ala, beliau termasuk salah seorang murid dari para masyaikh kibar yang masyhur, seperti Syaikh Bin Baaz dan Al-Albani rahimahumallah Ta’ala. Namun Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala memiliki kelebihan ilmu, terkhusus dalam hal menghidupkan ilmu al-Jarh wat-Ta’dil pada zaman ini, yang dengan itu – semestinya -mengangkat beliau ke deretan para ulama paling senior, sebagaimana tazkiyah dari para ulama yang paling senior pula.

Diantara tazkiyah tersebut adalah tazkiyah dari Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah Ta’ala, tatkala beliau ditanya tentang Syaikh Rabi’ dan Syaikh Muhammad Aman Al-Jami. Maka beliau menjawab:

“Terkhusus dua Syaikh yang mulia, syaikh Muhammad Aman Al-Jami dan Syaikh Rabi’ bin Hadi, keduanya dari Ahlus Sunnah dan keduanya orang yang aku ketahui dalam hal ilmu, keutamaan, aqidah yang shalihah dan telah meninggal Doktor Muhammad Aman pada malam Kamis, tepatnya 27 Sya’ban di tahun ini, semoga Allah merahmatinya. Aku nasehatkan untuk mengambil faidah dari kitab-kitab keduanya…”

Beliau juga berkata : ”Syaikh Rabi’ termasuk pilihan di kalangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dan ma’ruf bahwa beliau termasuk Ahlus Sunnah dan ma’ruf tulisan dan makalah-makalahnya.”

Dan berkata Syaikh Rabi’ berkata dalam kitabnya “Izhaq abaathil Abdil Lathif Ba Syumail”, hal:104: “Sungguh aku telah berziarah kepada samahatus Syaikh Ibnu Baaz hafidzahullah, lalu beliau menasehatiku untuk membantah setiap yang menyelisihi kebenaran dan Sunnah.”

Bahkan demikian besar rasa kepercayaan Syaikh Ibnu Baaz terhadap apa yang dimiliki Syaikh Rabi’ dari ilmunya, sehingga beliau beberapa kali meminta penjelasan dari syaikh Rabi’ dalam menyikapi beberapa tokoh. Diantaranya adalah surat beliau nomor : 352/2, tanggal: 7-2-1413 H :

“Bismillahirrahmanirrahiim
Dari Abdul Aziz bin Baaz kepada Al-Akh yang mulia, Fadhilatus syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, pengajar di Jami’ah Islamiyyah – semoga Allah memberinya taufiq- :
Salamun ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Telah sampai kepadaku bahwa engkau -yang mulia- telah menulis perihal Ustadz Abul A’laa Al-Maududi rahimahullah, maka aku berharap engkau membekaliku satu salinan dari apa yang telah engkau tulis dalam hal itu.”

Perhatikanlah surat dari Bin Baaz rahimahullah Ta’ala, bukti kepercayaan beliau kepada Syaikh Rabi’ hafidzahullah dalam tulisan-tulisan beliau, terkhusus berkenaan tentang al-Jarh wat-Ta’dil. Dan ini tidaklah menunjukkan bahwa Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala tidak mengetahui “Fiqhul Waqi’ hanya karena tidak mengetahui keadaan Abu Al-a’la Almaududi rahimahullah, yang sangat terkenal kiprahnya dan telah diketahui oleh banyak orang, seperti yang difahami oleh al akh Firanda.

Demikian pula ketika syaikh Ibn Baz menampakkan tazkiyah kepada Jama’ah Tabligh, sementara para ulama lainnya mentahdzir Jama’ah Tabligh. Tentu saja sesuai kaidah Firanda sendiri menunjukkan bahwa ulama yang paling senior adalah Syaikh Bin Baz Rahimahullah. Apakah dengan demikian menunjukkan bahwa Firanda termasuk salah seorang yang berpegang dengan tazkiyah Syaikh Bin Baz terhadap Jama’ah Tabligh ? Sebelum pada akhirnya Syaikh Bin Baz mengeluarkan fatwa terakhir yang mentahdzir mereka dan menganggap mereka sebagai ahli bid’ah. Jadi ketika syaikh Ibn Baz menampakkan tazkiyah kepada Jama’ah Tabligh, dan itu tidak menunjukkan bahwa beliau tidak mengerti “fiqhul waqi’”. Namun karena belum sampainya kepada beliau tentang hakikat penyimpangan yang ada pada kelompok tersebut. Maka hal itu sama sekali tidak menurunkan derajat kesenioran yang dimilikinya.

Juga ketika Syaikh Rabi’ yang telah ditazkiyah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam kaset yang berjudul “Al Muwazanaat, Bid’atul ‘Ashr” beliau berkata: “Secara ringkas aku mengatakan bahwa sesungguhnya pembawa bendera al-Jarh wat-Ta’dil pada hari ini, di masa ini, secara hakiki adalah saudara kami Rabi’, dan orang-orang yang membantahnya, tidak membantahnya dengan ilmu sama sekali, dan ilmu bersama beliau. Walaupun aku selalu mengatakan dan lebih dari sekali aku mengatakan kepada beliau melalui telepon, kalau sekiranya beliau lemah lembut dalam caranya, maka jadi lebih bermanfaat untuk banyak kalangan dari manusia, apakah dia kawan maupun lawan. Adapun dari sisi ilmu, maka tidak ada celah untuk membantah beliau sama sekali, kecuali apa yang telah aku isyaratkan tadi dari pernyataan keras dalam uslub (cara penyampaiannya).”

Perhatikanlah ucapan Syaikh paling senior di abad ini, dimana beliau yang telah memeriksa tulisan dan makalah-makalah Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala dan beliau tidak mengkritik satu pun darinya dari sisi keilmiahan dan kekuatan hujjah yang beliau sebutkan. Adapun yang beliau kritisi hanya dalam hal cara beliau yang ‘agak kenceng’ dari sisi ungkapan yang beliau gunakan. Dan ini menunjukkan bahwa bantahan-bantahan beliau dari sisi keilmiahannya lebih terjamin.

Mari kita bandingkan rekomendasi dari Syaikh Al-Albani tersebut dengan tulisan seorang da’i ‘senior’, Abdullah Taslim yang mengatakan:
“Kesimpulannya, pendapat Jarh dan Ta’dil Syaikh Rabi’ sama seperti pendapat para ulama ahlus sunnah lainnya ,diterima jika disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas ,dan ditolak jika tidak demikian, khususnya, jika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka…” [21]

(Artikel Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE) nomor 338).

Nah, sekarang kita tanyakan hal ini kepada para da’i ‘senior’ seperti Firanda dan Abdullah Taslim : “Berdasarkan kaidah “kesenioran” model antum, manakah pendapat yang antum pilih, pendapat alim yang paling senior Syaikh Al-Albani ataukah pendapat da’i ‘senior’ Abdullah Taslim?” Silahkan menerapkan kaidah yang antum buat sendiri.

Seorang penyair berkata:

ألم تر أن السيف ينقص قدره إذا قيل إن السيف أمضى من العصا

Tidakkah engkau ketahui bahwa sebilah pedang menjadi kurang mutunya
Bila dikatakan: sesungguhnya pedang itu lebih tajam dari tongkat

Mari kita lanjutkan kembali seputar pengangkatan kedudukan Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala dari “senior” menjadi “paling senior”. Disebutkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya “Shifatus Shalaah”,hal:68, tatkala berbicara tentang (Muhammad) Al-Ghazali yang di zaman sekarang:

“Dan telah bangkit banyak dari kalangan para ulama yang mulia –semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan- dalam membantahnya dan merinci pembahasannya yang menerangkan tentang kebingungan dan penyimpangannya.Diantara yang terbaik dari apa yang aku ketahui, bantahan sahabat kami Doktor Rabi bin Hadi Al-Madkhali di majalah “Al-Mujahid’, Afghanistan, edisi: 9-11 (3) dan risalah Al-Akh Al-Fadhil Shalih bin Abdil Aziz bin Muhammad Aalus Syaikh [22] yang berjudul “al-Mi’yar li ilmil Ghozali’.”

Bahkan Syaikh Al-Albani rahimahullah memberi ta’liq terhadap kitab Syaikh Rabi’ yang berjudul “Al-‘awashim fi Kutub Sayyid Quthb minal Qowashim” : “Semua yang engkau bantah terhadap Sayyid Quthb adalah benar dan sesuai, dan dari sini menjadi jelas bagi setiap pembaca muslim yang memiliki wawasan keislaman bahwa Sayyid Quthb dalam keadaan tidak mengetahui Islam, prinsip-prinsipnya dan cabang-cabangnya. Maka semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Akh Rabi’ atas usahamu dalam menegakkan kewajiban menjelaskan dan menyingkap tentang kejahilannya dan penyimpangannya dari Islam.”

Demikian halnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Ta’ala, seorang alim – paling senior – yang juga merekomendasi Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah Ta’ala.Tatkala ada seseorang yang bertanya kepada beliau tentang kitab-kitab Syaikh Rabi’. Maka beliau menjawab:

“Yang dzhahir bahwa pertanyaan ini tidaklah dibutuhkan. Sebagaimana Imam Ahmad ditanya tentang Ishaq bin Rahuyah –semoga Allah merahmati mereka semuanya- lalu beliau menjawab: “Semisal aku ditanya tentang Ishaq! Bahkan semestinya Ishaq yang ditanya tentangku.”

Dan dalam kaset “Pertemuan Syaikh Rabi’ bersama Syaikh Ibnu Utsaimin seputar manhaj”, beliau ditanya dengan pertanyaan berikut : “Sesungguhnya kita semua mengetahui sikap melampaui batas dari Sayyid Quthb. Namun satu hal yang saya belum mendengar darinya dan telah saya dengar dari salah seorang penuntut ilmu dan saya belum puas dengan itu, dia mengatakan bahwa Sayyid Quthb berpendapat tentang Wihdatul Wujud. Tentunya ini adalah kekufuran yang jelas. Apakah Sayyid Quthb termasuk diantara orang yang berpendapat tentang wihdatul wujud ? Saya berharap jawabannya. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Maka beliau menjawab:
“Telaahku terhadap kitab-kitab Sayyid Quthb sedikit dan saya tidak mengetahui keadaan orang ini. Namun para ulama telah menulis berkenaan tentang tulisannya dalam tafsir “Fi Dzilal al-Qur’an”, dimana mereka menuliskan beberapa peringatan atas kitabnya dalam tafsir tersebut. Seperti apa yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Duwaisy rahimahullah dan yang ditulis oleh saudara kami Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali beberapa peringatan atas Sayyid Quthb dalam tafsirnya dan yang lainnya. Maka barangsiapa yang ingin merujuk kesana, maka silahkan dia merujuknya”.

Perhatikanlah jawaban dari Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dimana beliau menganjurkan kaum muslimin yang ingin mengetahui penyimpangan Sayyid Quthb agar kitab Syaikh Rabi’ hafidzahullah. Dan ini tidaklah menunjukkan bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin tidak mengerti “fiqhul waqi’” hanya karena tidak mengetahui keadaan Sayyid Quthb- yang sangat terkenal dan kiprahnya dikenal banyak orang -seperti yang diklaim oleh al akh Firanda, si pencetus bid’ah “senior dan paling senior” ini.

Semua rekomendasi ini bisa didapatkan dalam barnamij/kaset Syaikh Rabi dari “Ruh al-Islam”.

Keempat: Kita mengatakan kepada Firanda: “Anggaplah kaidah “kesenioran” yang antum terapkan tersebut benar. Maka semestinya kaidah ini antum terapkan dalam setiap perkara.” Seperti contoh yakni dalam hal menyikapi orang-orang yang getol membela Al-Irsyad dengan pimpinannya Ahmad As-Surkati rahimahullah, dimana para Ulama berselisih dalam menyikapi Ahmad As-Surkati dan organisasinya. Syaikh Ali Hasan dan yang bersamanya melakukan pembelaan dan bahkan pujian terhadap Ahmad As-Surkati, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam beberapa muhadharahnya. Sementara para ulama lainnya, yang tentunya lebih senior dibanding Syaikh Ali Hasan –menurut kaidah “kesenioran” Firanda- mentahdzirnya. Diantara mereka adalah Syaikh Ubaid Al-Jabiri dan Syaikh Ahmad An-Najmi hafidzahumallah. Syaikh Ubaid berkata setelah membaca pertanyaan yang menjelaskan tentang Ahmad As-Surkati dan organisasinya:

“Sesungguhnya dari apa yang telah sampai kepadaku dari dokumen yang disebarkan melalui majalah “Adz-Dzakhirah”, maka nampak bagiku secara meyakinkan bahwa organisasi Al-Irsyad yang didirikan oleh seorang yang disebut Ahmad bin Muhammad As-Surkati As-Sudani Al-Anshari adalah organisasi Ikhwaniyyah Siyasiyyah dan bukan diatas Sunnah sama sekali. Namun dia dibangun diatas manhaj organisasi Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Banna di Mesir satu kurun masehi yang telah lalu. Oleh karena itu, maka sesungguhnya saya memperingatkan anak-anakku, saudara-saudaraku di Indonesia dan aku mengajak agar jangan mereka berta’awun bersamanya dalam bentuk apapun.Karena sesungguhnya dia bukan salafiyyah walaupun mengaku diatasnya.” (Tanya jawab dengan Syaikh Ubaid pada hari Ahad tanggal 11 September 2005, terekam dalam kaset yang ada pada kami).

Adapun Syaikh Ahmad An-Najmi hafidzahullah Ta’ala yang mengatakan tentang Ahmad As-Surkati, maka beliau menjawab tentangnya: “Dia bukan alim salafi dan bukan pula da’i salafi” (Tanya jawab dengan Syaikh An-Najmi pada hari Sabtu, tanggal 10 September 2005, kasetnya ada pada kami). [23]

Maka berdasarkan kaidah Al-Akh Firanda, semestinya dia dan yang bersamanya tentu mengetahui bahwa Syaikh Ubaid dan Syaikh An-Najmi jauh lebih senior dibanding Syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Sehingga sebagai bentuk ilzam terhadap Firanda, semestinya dia tidak boleh bekerjasama dengan irsyadiyyun, dalam bentuk apapun. Apakah membuat daurah, mendatangkan masyaikh atau yang semisalnya. Dengan menggunakan kaidah dari antum sendiri “kaidah kesenioran”.

Kelima: Hingga saat ini saya belum pernah menemukan dari kitab-kitab para ulama salaf maupun khalaf yang menyelesaikan dan mentarjih perselisihan yang terjadi di kalangan para ulama dengan dalil “naluri seorang salafi”. Sepanjang yang kami ketahui –dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki- bahwa dalam mengamalkan syari’at ini dan menyelesaikan berbagai perselisihan yang terjadi di kalangan ahli ilmu dengan beberapa dalil seperti : Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ (konsensus) dari para ulama, Qiyas yang benar dan ada beberapa yang diperselisihkan seperti : pendapat Shahabat, Maslahah Mursalah, Istihsan dan yang lainnya. Namun tidak satu pun dari mereka yang menggolongkan “naluri salafi” sebagai salah satu dalil. Apakah karena keterbatasan kami, sehingga kami butuh bimbingan dari Al-Akh Firanda untuk menerangkan kepada kami cara menyelesaikan perselisihan ulama dengan “naluri salafi” ? Ataukah al akh Firanda mencoba untuk membuat kaidah “bid’ah” yang berikutnya, yang lebih pantas dijawab dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, disaat beliau mengingkari perbuatan sebagian orang di zamannya yang melakukan bid’ah “dzikir berjama’ah” di sebuah masjid. Maka beliau mengatakan:

“Apakah kalian merasa berada di atas satu ajaran yang lebih benar dari ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ? Ataukah kalian adalah orang-orang yang membuka pintu-pintu kesesatan ?”.

Lalu dalil “naluri salafi” inipun perlu dirinci, naluri milik siapakah yang dijadikan sandaran jika terjadi perselisihan ? Bukankah salafiyyin jumlahnya sangat banyak, maka jika terjadi perselisihan naluri diantara mereka, naluri siapakah yang perlu didahulukan? Atau apakah antum termasuk diantara mereka yang mentarjih satu permasalahan dengan menggunakan ilmu ladunni?

Lalu, apakah orang yang merajihkan pendapat Syaikh Rabi’ dan yang bersamanya tidak memiliki naluri salafi – maka berdasarkan kaedah “bid’ah” antum – ? Kalau orang yang merajihkan pendapat Syaikh Rabi’ saja tidak memiliki naluri, maka terlebih lagi para masyayikh tersebut tidak memiliki ‘naluri salafi’, karena merekalah yang menjadi penyebab ditahdzirnya Organisasi Ihya’ At-Turots tersebut. Maka jawablah hal ini secara ilmiah!

Ya akhi, kalau setiap orang yang punya akal membuat satu alasan/kaidah tanpa disertai dengan hujjah, maka Islam ini akan disusupi dengan berbagai macam penyimpangan dan kesesatan, sebagaimana yang telah menyebabkan tergelincirnya kelompok-kelompok sesat yang dahulu maupun yang sekarang. Wallahul musta’an.

Kalau ada seseorang yang menyelisihi dalil yang jelas, lalu engkau menyampaikan kepadanya hujjah, lalu dia menjawab: “Ustadz saya lebih senior dari ustadz antum, apakah anda akan menerimanya?”

Kalau ada yang menyelisihi dalil, lalu anda menasehatinya agar dia mengikuti dalil, lantas dia menjawab: “Naluri salafi saya menyatakan bahwa saya tetap berada di atas pendapat ini.” Apakah anda menerima alasan ini ?

Saya berharap al akh Firanda sebagai da’i ‘senior’ bisa menjawab ini dengan hujjah dan tidak dengan nalurinya.

Keenam: Sepertinya Firanda tidak bisa membedakan antara istilah fiqhul waqi’ yang dimasyhurkan oleh kalangan hizbiyyun, dengan kaidah “yang memiliki hujjah didahulukan ucapannya dari orang yang tidak memiliki hujjah”. Adapun fiqhul waqi’ yang dimaksudkan oleh hizbiyyun adalah anggapan mereka bahwa para ulama jangan mencukupkan dirinya hanya mempelajari kitab-kitab Salafiyyah dahulu yang hanya bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang telah lampau dan sudah punah. Sebab hal tersebut tidak akan bisa menyelesaikan perkara-perkara kekinian (kontemporer) dengan benar, karena penggambaran dan kenyataan di masa lampau berbeda kondisi dan realita yang ada di masa sekarang. Insya Allah perkara ini akan kami bahas di edisi berikutnya.

Adapun kaidah : “yang memiliki ilmu merupakan hujjah atas yang tidak memiliki ilmu” maksudnya bahwa para ulama menghukumi sesuatu berdasarkan ilmu yang sampai kepadanya dan berdasarkan penggambaran (shurotul mas’alah) yang disampaikan kepada beliau (الحكم على الشيء فرع عن تصوره), sehingga ia mengeluarkan fatwa sesuai kondisi pertanyaan tersebut. Dan hal ini adalah perkara yang maklum semenjak zaman para Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in. Insya Allah, hal ini pun akan kita bahas di edisi depan.

Namun satu hal yang cukup menunjukkan sikap “agak kenceng” dari sikap al akh Firanda, tatkala menyatakan bahwa bahwa “Kaum hizbiyyin menolak fatwa para ulama dengan alasan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi…….”, sebab diantara yang menuduh para ulama dengan tuduhan “tidak mengerti fiqhul waqi’”, adalah syaikh seniornya Ihya At-Turots, Abdurrahman Abdul Khaliq. “Ya memang benar, dia adalah salah seorang senior dari kalangan kaum hizbiyyin.!”

(bersambung Insya Allah…)

Footnote :
[1] Yang saya maksudkan disini adalah perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yang memang mereka pantas memiliki kedudukan tersebut. Bukan perbedaan antara ulama dengan yang dianggap sebagai ulama, namun bukan termasuk darinya.
[2] Maksudnya bahwa beliau mendapatkan ilmu yang lebih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
[3] Dalam riwayat Bukhari, Ibnu Umar berkata: Abu Hurairah telah banyak (memberitakan hadits) kepada kami.
[4] Al-Hadyus Sari,Al-Hafidz: 478.Siroh Al-Imam Al-Bukhari,Al-Allamah As-Syaikh Abdus Salam Al-Mubarokfuri,hal:46-47.
[5] Yang mengherankan dari al akh Firanda, ia sering menukil ucapan Syaikhul Islam rahimahullah,namun tidak menukil ucapan beliau ini, lalu menyebutkan ucapan yang tidak didasari dengan dalil ataupun perkataan seseorang dari kalangan Salaf. Saya tidak tahu,apakah karena memang al akh Firanda belum membacanya, atau …? Wallahu a’lam.
[6] HR. Malik, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dll, dilemahkan Al-Albani dalam Al-Irwa’:6/1680.
[7] Yang dimaksud diyat adalah pembayaran yang diserahkan kepada wali orang yang dibunuh sebagai ganti dari darah yang terbunuh tersebut.
[8] HR.At-Tirmidzi:4/1415, Abu Dawud:3/2927, An-Nasaa-i dalam Al-Kubra:4/6363,6364, Ibnu Majah:2/2642, Al-Muntaqo:966, Al-Maqdisi ,al-Makhtaroh:8/85, dll. Berkata Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”.
[9] HR.Malik dalam Muwattha’,dan dari jalannya Imam Asy-Syafi’i,dan Al-Baihaqi. Riwayat ini dilemahkan Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa’: 5/1248. Namun telah diriwayatkan melalui jalur lain dari Bajalah bin Abdah berkata: “Umar radhiallahu tidak mengambil jizyah dari kaum Majusi, sehingga Abdurrahman bin Auf bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dari Majusi Hajar.”
HR.Bukhari, Asy-syafi’i,Abu Dawud,Tirmidzi,dll. Lihat Irwa’ Al-Gholil: 5/1249.
[10] Satu kampung yang terletak antara Syam dan Hijaz.
[11] Yang tentunya mereka adalah para Shahabat yang paling senior, radhiallahu anhum.
[12] Perhatikanlah, jumlah para Shahabat radhiallahu anhum yang lebih banyak, namun tersamarkan oleh mereka sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Menunjukkan bahwa yang menjadi ‘ibrah – pelajaran- adalah riwayat dan bukan jumlah terbanyak, seperti yang disangka oleh Firanda dan orang-orang yang berpemikiran ala demokrasi, Allahul musta’an.
[13] Dan tentunya tidak sesenior shahabat Umar radhiallahu anhu. Namun mereka – tidaklah seperti Firanda -, yang memegang kaidah : “Paling senior didahulukan ucapannya daripada yang senior (tanpa “paling”)”.Wallahul musta’an.
[14] Dan kita pun tidak mengatakan bahwa hal ini merupakan tuduhan terhadap Umar raddhiallahu anhu bahwa beliau tidak mengerti fiqhul waqi’, seperti yang disangka oleh Firanda –semoga Allah mengembalikannya kepada Al-Haq-.
[15] Muttafaq alaihi,dari Aisyah radhiallahu anha. Lihat pula takhrij hadits ini dalam Al-Irwa’:4:1047.
[16] HR.Malik dalam Al-Muwattha’, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan yang lainnya dari Al-Furai’ah bintu Malik bin Sinan radhiallahu anha. Dan dilemahkan Al-Albani dalam Al-Irwa’: 7:2131.
[17] HR.Baihaqi : 5/194.
[18] HR.Abu Dawud: 1521.Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud : 1346.
[19] Muttafaq alaihi dari hadits Subai’ah bintul Harits Al-Aslamiyyah.
[20] Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bagi Barwa’ bintu Wasyiq radhiallahu anha yang ditinggal mati suaminya, bahwa ia mendapatkan seluruh maharnya dan dia mendapatkan warisan, serta harus menunggu masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:3/1145, Abu Dawud:2114, An-Nasaai: 3356, Ibnu Majah:1891, Ad-Darimi: 2/2246, Al-Baihaqi:7/245, dll, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu. Dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’:1939.
[21] Disini nampak sekali bahwa Ibnu Taslim hendak mengaburkan permasalahan dan menyebutkan kaidah-kaidah umum untuk mengesankan kepada pembaca bahwa Syaikh Rabi’ dalam hal ini telah menetapkan hukum yang salah. Namun itu tidak dilakukannya secara transparan. Apakah bukti-bukti yang disebutkan oleh Syaikh Robi’ hafidzahullah dan yang lainnya tersebut tidak cukup bagi anda ? Semestinya kita membahas secara ilmiah dan jangan selalu menjadikan “masalah khilafiyah”, “suara terbanyak”, “naluri salafi” dan yang semisalnya sebagai tameng untuk menghindari pembahasan secara ilmiah dan dampak buruk masuknya Ihya’ At-Turots ke bumi Indonesia secara khusus dan ke berbagai negara lainnya.
[22]Abdullah Taslim –semoga Allah memberi kepadanya dan kepada kita semua hidayah- menyebutkan dalam jawabannya kepada Abah Umair bahwa syaikh Shalih Alus Syaikh tergolong ulama yang paling senior, lalu menganggap Syaikh Rabi’ tidak termasuk ulama yang paling senior. Padahal Syaikh Rabi’ jauh lebih tua dari Syaikh Shalih Alus Syaikh hafidzhahumallah, Syaikh Rabi’ lahir pada tahun 1351 H, sedangkan Syaikh Alus Syaikh lahir pada tahun 1378 H. Berarti syaikh Rabi’ lebih tua dari Syakh Alus Syaikh 27 tahun. Entah apa yang menyebabkan Abdullah Taslim bertindak ‘nyeleneh’ seperti ini, apakah mungkin hanya karena salah tulis atau salah sangka, atau karena terlalu getol dalam melakukan pembelaannya terhadap Ihya at-Turots dan yang bermu’amalah dengannya, lalu merendahkan kedudukan seorang ‘alim yang terkenal kiprahnya dalam ilmu al-Jarh wat-Ta’dil ? Wallahu a’lam ma fi qolbihi. Dan bahkan Syaikh Rabi’ pun lebih tua dari Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dua tahun, karena Syaikh Abdul Muhsin lahir pada tahun 1353 H. Sehingga keduanya berada dalam satu thabaqah yang sama tingkat keseniorannya. Maka jika Syaikh Rabi’ pernah mengambil ilmu dari Syaikh Abdul Muhsin, maka hal tersebut termasuk dalam jenis riwayat bainal aqran, sebagaimana yang telah ma’ruf dalam pembahasan musthalah hadits. Walhasil, mereka semua adalah para ulama yang kita cintai.
[23] Bukan maksud kami menukilkan ini untuk membahas tentang organisasi Al-Irsyad dan pendirinya, sebab itu membutuhkan pembahasan rinci. Namun maksud kami hanyalah meng “‘ilzam” Firanda dan yang bersamanya yang menetapkan kaidah bid’ah “kesenioran”. Adapun tentang Organisasi Al-Irsyad dan pendirinya, insya Allah akan kita bahas pada edisi-edisi selanjutnya.

No More Posts Available.

No more pages to load.