Syarat-syarat Wajibnya Zakat

oleh -28 views

etapa agung dan sempurna syariat Islam yang telah diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha mengetahui lagi Maha Bijak untuk mengatur kehidupan umat manusia. Syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk aspek yang terkait dengan harta benda mereka yang merupakan penopang keberlangsungan maslahat hidup manusia.

Ketika hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki adanya perbedaan nasib di antara hamba-hamba-Nya, ada yang ditakdirkan sebagai orang kaya dan ada pula yang ditakdirkan sebagai fakir miskin yang serba kekurangan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan adanya zakat dan shadaqah untuk menyantuni kaum fakir miskin dan golongan lainnya yang membutuhkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/8) menjelaskan: “Syariat ini telah memahamkan kepada kita bahwasanya zakat mal disyariatkan dengan tujuan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.”
Al-’Allamah Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menerangkan dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/11-12, terbitan Muassasah Asam) bahwa di antara faedah zakat adalah terciptanya suatu komunitas Islami layaknya sebuah keluarga yang satu. Yang mampu membantu mereka yang tidak mampu dan yang berpunya menyantuni mereka yang mengalami kesulitan hidup. Dengan zakat, seseorang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melaksanakan kewajiban dan bersamaan dengan itu, dia secara otomatis telah membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan. Sehingga saudaranya pun merasa bahwa dia mempunyai saudara-saudara yang suka memerhatikan dan berbuat baik kepadanya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berbuat baik kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (Al-Qashash: 77)
Zakat menurut tinjauan bahasa (etimologi) artinya pertambahan, pertumbuhan, dan perkembangan. Namun bisa pula berarti pembersihan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/8) menguraikan: “Jiwa orang yang berzakat jadi tumbuh, hartanya pun jadi bersih dan berkembang secara maknawi.”
Bahkan Al-Imam Al-Faqih Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyebutkan, di antara faedah zakat adalah: “Bahwasanya zakat akan menjadikan harta berkembang secara inderawi dan maknawi. Jika seseorang berzakat dengan hartanya, maka sesungguhnya hal itu akan menjaga hartanya dari kemusnahan. Bahkan boleh jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membukakan baginya tambahan rezeki dengan sebab zakat tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Tidaklah suatu shadaqah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2588 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Ini adalah sesuatu yang nyata terlihat, terkadang seorang yang bakhil ditimpa musibah yang menguras harta bendanya atau memusnahkan sebagian besar kekayaannya. Musibah berupa kebakaran, kerugian besar, atau penyakit yang memaksanya untuk berobat dengan biaya yang besar.” (Asy-Syarhul Mumti’ 6/13)
Adapun menurut tinjauan istilah (terminologi) syariat, maka Al-’Allamah Al-’Utsaimin rahimahullahu mendefinisikannya dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/17) bahwa zakat adalah kadar (nilai) yang ditetapkan oleh syariat pada harta tertentu untuk diserahkan kepada golongan tertentu.
Zakat mal (harta benda) memiliki kedudukan yang tinggi dan agung dalam Islam sebagai rukun Islam terpenting setelah shalat. Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah serta ijma’ (kesepakatan) ulama.
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dirikanlah shalat dan bayarlah zakat serta rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (Al-Baqarah: 43)
Dalil dari As-Sunnah adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
بُنِىَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun atas lima perkara: syahadat Laa ilaha illallah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Demikian pula hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman dan bersabda kepadanya:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْـمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari kalangan ahli kitab. Jika engkau mendatangi mereka, (yang) pertama kali (dilakukan) hendaklah engkau mengajak mereka untuk bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah. Jika mereka menaatimu maka kabarkan kepada mereka bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan atas diri mereka shalat lima waktu setiap hari dan malamnya. Jika mereka menaatimu maka kabarkan kepada mereka bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan atas mereka zakat mal (harta) yang dipungut dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang miskin mereka. Jika mereka menaatimu maka berhati-hatilah jangan sampai engkau mengambil harta mereka yang istimewa dan jagalah dirimu dari doa pihak yang terzalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara dia dengan Allah untuk dikabulkan.” (HR. Al-Bukhari no. 1496 dan Muslim no. 19)
Adapun ijma’ ulama akan wajibnya zakat mal, telah dinukilkan oleh lebih dari satu ulama. Di antara yang menukilkannya adalah An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ (5/297) dan Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (2/359).
Oleh karena itu, barangsiapa mengingkari wajibnya zakat mal sementara dia hidup di tengah-tengah kaum muslimin maka dia kafir, meskipun dia membayar zakat. Karena seseorang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin tentulah mengetahui wajibnya zakat mal. Berarti pengingkarannya merupakan pendustaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ijma’ kaum muslimin. Berbeda dengan muslim yang baru keislamannya atau muslim yang tinggal di pelosok terpencil yang jauh dari masyarakat. Yang seperti ini keadaannya tidak dihukumi kafir. Namun diajari tentang wajibnya zakat. Setelah dia mengetahui hukumnya dan tetap mengingkarinya barulah kemudian dihukumi kafir.
Kewajiban zakat mal sendiri tidaklah dibebankan atas setiap muslim dan tidak pula pada seluruh jenis harta benda. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/8) menerangkan: “Syariat ini telah memahamkan kepada kita bahwa zakat mal disyariatkan dengan tujuan menyantuni orang-orang yang membutuhkan dan hal ini tentu saja hanya dibebankan kepada para pemilik harta benda. Maka syariat pun menetapkan adanya aturan nishab1 dan memberlakukannya pada jenis-jenis harta yang mengalami pertambahan. Ada yang bertambah dengan zatnya itu sendiri, seperti binatang ternak dan hasil bumi. Ada pula yang bertambah dengan pergantian zatnya dan penggunaannya, seperti emas.”

Kriteria Wajib Zakat
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang terkena kewajiban zakat mal. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Beragama Islam
Maka zakat mal tidak wajib atas orang kafir asli yang asalnya memang kafir dan tidak pernah memeluk Islam. Demikian pula orang yang murtad setelah memeluk Islam, menurut pendapat yang rajih.2 Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada Ahlul Yaman, yaitu kepada Al-Harits bin ‘Abdi Kilal dan yang bersamanya dari kalangan Ma’afir dan Hamdan:
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ فِي صَدَقَةِ الثِّمَارِ أَوْ مَالِ الْعَقَارِ عُشْرٌ مَا سَقَتِ الْعَينُ وَمَا سَقَتِ السَّمَاءِ, وَعَلَى مَا يُسْقَى بِالْغَرْبِ نِصْفُ الْعُشْرِ.
“Wajib atas kaum mukminin untuk membayar sepersepuluh untuk zakat buah- buahan atau hasil pertanian yang diairi dengan mata air atau air hujan, dan seperdua puluh untuk yang diairi dengan al-gharb (timba besar yang terbuat dari kulit sapi).” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menurut syarat Bukhari-Muslim dalam Ash-Shahihah: 142)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata setelah meriwayatkannya: “Hadits ini seakan menunjukkan bahwa zakat tidak dipungut dari ahludz dzimmah (orang kafir yang hidup di di wilayah muslimin, red.).”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah menegaskan: “Sesungguhnya siapapun yang mempelajari sirah (perjalanan hidup) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejarah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, dan khalifah-khalifah kaum muslimin lainnya serta penguasa-penguasa mereka, akan mengetahui dengan pasti bahwasanya tidaklah mereka memungut zakat dari selain kaum muslimin setempat. Sesungguhnya mereka hanyalah memungut jizyah (upeti) dari ahludz dzimmah sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ (5/299) dan Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (2/390) menyatakan bahwa tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama tentang hal ini, walhamdulillah.
Zakat hanya diwajibkan atas kaum muslimin karena zakat bertujuan untuk membersihkan pemilik harta yang terkena zakat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (At-Taubah: 103)
Sedangkan orang kafir najis dengan kekufurannya, sehingga tidak ada manfaatnya dibersihkan. Al-’Allamah Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/19) mengatakan: “Orang kafir najis. Meskipun dicuci dengan air laut seluruhnya dan emas sepenuh bumi, maka tidak akan menjadi suci hingga bertaubat dari kekufurannya.”

2. Merdeka (bukan budak)
Zakat mal tidak wajib atas diri seorang budak sahaya, karena seorang budak tidak punya hak milik. Diri seorang budak serta hartanya adalah milik tuannya. Dalil yang menunjukkan hal ini hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
مَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْـمُبْتَاعُ
“Barangsiapa membeli seorang budak dan pada budak itu ada harta, maka hartanya untuk (tuan) yang menjualnya, kecuali jika pembelinya mempersyaratkan (bahwa hartanya untuk dirinya).” (HR. Al-Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)

3. Harta yang dimiliki mencapai nishab
Nishab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat sebagai batas minimal suatu harta terkena kewajiban zakat. Nishab berbeda-beda pada setiap harta yang terkena zakat. Jika seseorang memiliki harta yang nilainya tidak mencapai nishab, maka hartanya tidak terkena zakat. Di antara dalil yang menunjukkan syarat ini adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:
لَيْسَ فِيمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ، وَلاَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ، وَلاَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang takarannya kurang dari lima wasaq, tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima ekor, dan tidak ada zakat pada perak yang beratnya kurang dari lima ons.” (HR. Al-Bukhari no. 1447, 1484 dan Muslim no. 979)

4. Harta telah dimiliki secara tetap
Harta yang belum dimiliki secara tetap tidaklah terkena zakat. Contohnya, sewa rumah sebelum berakhirnya batas waktu penyewaan. Meskipun (uang) sewa rumah itu telah menjadi hak miliknya dengan terjadinya akad sewa, namun dia belum memilikinya secara utuh. Karena bisa saja rumah itu terkena musibah dan runtuh, sehingga akad sewa yang ada batal dan (uang) sewanya kembali kepada pemiliknya semula (penyewa, red.).

5. Sempurnanya haul
Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang dari nishab hingga akhir tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْـحَوْلُ
“Barangsiapa menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu atasnya waktu satu tahun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Anas, dan ‘Aisyah g. Pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, namun gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga merupakan hujjah. Bahkan Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang shahih sehingga beliau menshahihkan hadits ini.
Ibnu Qudamah rahimahullahu mengatakan dalam Al-Mughni (2/392): “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal persyaratan haul.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa (25/14) menjelaskan: “Sempurnanya haul merupakan syarat wajibnya zakat pada hewan ternak dan emas3. Sebagaimana halnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim ‘amil-’amil (petugas-petugas resmi pemerintah) untuk memungut zakat setiap tahun. Kemudian para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beramal dengan persyaratan haul ini pada hewan ternak dan emas4 berdasarkan pengetahuan mereka bahwa hal ini adalah sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Imam Malik rahimahullahu meriwayatkan dalam Muwaththa’ dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Abdullah bin ‘Umar g bahwa mereka berkata: ‘Bulan ini adalah bulan zakat kalian’, dan mereka mengatakan: ‘Tidak ada zakat pada suatu harta hingga sempurna haulnya.’ Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu berkata: ‘Hal ini telah diriwayatkan dari ‘Ali dan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma’.”5
Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriyyah dan bulan Qamariyyah yang jumlahnya 12 (dua belas) bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah. Bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariyyah. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla no (670) dan Al-Lajnah Ad-Daimah dalam Fatawa Al-Lajnah (9/200).
Ibnu Qudamah rahimahullahu mengingatkan dalam Al-Mughni (2/440) bahwa kekurangan satu jam, dua jam, atau semisalnya dari haul dianggap tidak berpengaruh, karena jangka waktu semisal itu termasuk sangat singkat dibanding jangka waktu setahun.
Namun pada beberapa jenis harta tidak dipersyaratkan haul, yaitu hasil tanaman (biji dan buah), anak hewan ternak, dan laba harta perdagangan6. Hasil tanaman wajib dikeluarkan zakatnya jika mencapai nishab pada saat dipanen, meskipun usianya hanya enam bulan. Hewan ternak wajib dikeluarkan zakatnya bersama induknya jika induknya mencapai nishab, berdasarkan perhitungan haul induknya. Laba harta perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya bersama modalnya jika modalnya mencapai nishab, menurut perhitungan haul modalnya.
Sebagai contoh aplikasi syarat-syarat tersebut, kami sebutkan di sini dua permasalahan:
1. Jika nishab yang dimiliki berkurang di tengah periode haul, maka haulnya terputus dan harta tersebut tidak terkena kewajiban zakat. Tidak ada bedanya apakah berkurang karena digunakan, dihibahkan, dijual, dicuri, atau sebab-sebab lainnya. Hal ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
2. Jika nishab yang ada seluruhnya dijual atau ditukar dengan nishab dari jenis harta yang lain, maka haulnya terputus dan dia memulai perhitungan nishab harta yang baru dimilikinya dari sejak membelinya (jika jumlah kambing tersebut mencapai 40 ekor). Contohnya, seseorang membeli sekawanan domba yang jumlahnya mencapai nishab dengan nishab emas yang dimilikinya, maka haul emas itu terputus dan dia memulai menghitung haul nishab domba yang baru dimilikinya dari sejak membelinya. Demikian pula halnya jika seseorang menukar nishab emas yang dimilikinya dengan nishab perak atau sebaliknya, menurut pendapat yang rajih (terkuat) bahwa emas dan perak merupakan dua jenis harta zakat yang berbeda.
Namun apabila seseorang secara sengaja melakukan sesuatu yang mengakibatkan berkurangnya nishab atau menukar/menjual nishab yang ada dengan jenis harta yang lain dengan maksud untuk menghindari kewajiban zakat, maka kewajiban zakat atas hartanya tersebut tidak gugur menurut pendapat yang rajih. Sebab dia melakukan hal itu sebagai rekayasa untuk menghindar dari kewajiban zakat, sedangkan rekayasa untuk menghindari kewajiban tidaklah menggugurkan kewajibannya. Sebagaimana halnya rekayasa untuk menghalalkan sesuatu yang haram tidaklah menjadikannya halal, berdasarkan hadits:
لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ، فَتَرْتَكِبُوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ
“Janganlah kalian menempuh apa yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rekayasa sekecil apapun.” (HR. Ibnu Baththah pada Juz Al-Khal’i wa Ibthal Al-Hiyal, sanadnya dihukumi jayyid [bagus] oleh Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsir Ibnu Katsir/Al-Baqarah: 66 dan dibenarkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Adh-Dha’ifah [1/493])
Karena yang diperhitungkan adalah niat sebagaimana hadits:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah sesungguhnya setiap amalan itu dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya.” (Muttafaq ‘alaih dari Umar radhiyallahu ‘anhu)
Contohnya, seseorang memiliki nishab emas yang sedang berjalan haulnya, kemudian dia membeli dengannya tanah untuk disewakan agar terputus haulnya dan terhindar dari kewajiban zakat, maka dia tetap terkena kewajiban zakat. Caranya, setiap tahun tanah itu dinilai harganya dengan emas untuk dikeluarkan zakatnya dalam bentuk emas atau uang.
3. Jika nishab yang dimilikinya dijual atau ditukar dengan nishab yang sejenis, maka haulnya tidak terputus dan tetap berlanjut perhitungannya pada hartanya yang baru. Hal ini menurut pendapat fuqaha Hanabilah, berbeda dengan pendapat fuqaha Syafi’iyah yang mengatakan haulnya terputus. Contohnya, seorang wanita menukar nishab perhiasan emas yang dimilikinya dengan nishab perhiasan emas yang lain7, maka perhitungan haul nishab emas yang pertama tidak terputus dan tetap berlanjut pada nishab emas berikutnya.
4. Jika seseorang meninggal sebelum haul dari nishab yang dimilikinya sempurna, maka perhitungan haulnya terputus dan harta tersebut tidak terkena kewajiban zakat. Karena pemiliknya meninggal sebelum haulnya sempurna dan harta tersebut secara otomatis berpindah ke tangan ahli waris. Setelah menjadi milik ahli waris, jika harta yang diwarisi oleh seorang ahli waris mencapai nishab, maka dia mulai menghitung haulnya sejak hari kematian yang mewariskan harta tersebut.
5. Jika harta yang dimiliki seorang muslim mencapai nishab dan sedang bejalan haulnya, namun dia murtad sebelum haulnya sempurna, maka haulnya terputus dan harta tersebut tidak terkena kewajiban zakat.8 Jika dia bertaubat, maka dia memulai kembali perhitungan haul harta tersebut dari awal keislamannya.
Wallahu a’lam.

1 Nishab merupakan faktor penyebab wajibnya zakat pada harta (dalam bentuk kadar tertentu dari harta), pen.
2 Maksudnya adalah seorang yang murtad sebelum terkena kewajiban zakat. Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat dan yang rajih dia tidak terkena kewajiban zakat selama statusnya murtad. Karena hak kepemilikan hartanya gugur secara otomatis akibat kemurtadannya. Al-Majmu’ (5/300).
Adapun seorang muslim yang telah terkena kewajiban zakat kemudian murtad, maka kewajiban zakat yang telah mengenai dirinya tidak gugur dan tetap wajib dibayarkan. Karena zakat tersebut adalah hak ahli zakat (yang berhak menerima zakat) yang harus diberikan kepada mereka, sedangkan tidak mungkin zakat itu dimasukkan ke dalam baitul mal yang akan disalurkan untuk mashlahat/kepentingan umum yang meliputi mashlahat/kepentingan ahli zakat dan selainnya. Hal ini menurut pendapat yang rajih yang dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Lihat Al-Majmu’ (5/299-300) dan Asy-Syarhul Mumti’ (6/196-197) –pen.
3 Demikian pula perak, pen.
4 Lihat catatan kaki no. 5, pen.
5 Atsar ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Musnad Ahmad. Irwa’ Al-Ghalil (3/255-256), pen.
6 Menurut pendapat yang mengatakan adanya zakat pada harta perdagangan dan kami lebih condong kepada pendapat yang mengatakan tidak adanya zakat harta perdagangan, sebagaimana telah kami bahas dengan pembahasan singkat pada majalah Asy Syariah Vo. IV/No. 45/1429 H/2008 rubrik Problema Anda, pen.
7 Tentu saja harus sama beratnya meskipun berbeda mutu. Karena jika berbeda beratnya, maka selisihnya adalah riba, pen.
8 Lihat kembali catatan kaki no. 4, pen.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=877

No More Posts Available.

No more pages to load.