Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Nan Mulia, Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu

oleh -249 views

 Penulis: Ustadz Muhammad Hadi hafizhahullahu ta’ala

 

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah generasi terbaik umat ini. Suatu kaum yang telah mengorbankan segala yang mereka miliki fi sabilillah saat kebanyakan manusia menentang agama Allah subhanahu wata’ala. Karenanya, kecintaan terhadap mereka sebagai bukti keimanan seorang muslim.

Ada banyak kisah yang bisa menggugah semangat untuk berbuat kebaikan pada diri kita, menghidupkan kesadaran dan mendamba agar menjadi pribadi seperti mereka. Satu di antara mereka adalah Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu.

Mengenal Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu

Tubuh tinggi, kurus, dan berjenggot tipis; itulah sosok Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nan mulia. Beliau bernama ‘Amir bin ‘Abdillah bin al-Jarrah bin Hilal al-Qurasyi al-Fihri al-Makki. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Fihr bin Malik.

Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu adalah sebutan kunyah, beliau lahir di Makkah dan dari suku Quraisy. Beliau dulunya memiliki dua putra bernama Yazid dan ‘Umair dari istrinya, Hindun bintu Jabir. Namun keduanya meninggal tatkala masih kecil, sehingga beliau tidak memiliki keturunan sepeninggalnya.

Beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang pertama kali masuk Islam. Bersama dengan ‘Utsman bin Mazh’un, ‘Ubaidah bin al-Harits, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, serta Abu Salamah bin ‘Abdil Asad radhiyallahu ‘anhum, mereka mengikrarkan syahadat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari yang sama. Lebih dari itu, Abu ‘Ubaidah termasuk dalam sepuluh sahabat senior yang mendapat kabar gembira berupa jaminan masuk surga dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tercatat pula bahwa beliau pernah berhijrah ke negeri Habasyah sebelum kemudian hijrah ke Madinah.

Beliau lebih dikenal sebagai pribadi yang santun, berperangai lembut, pemalu, rendah hati, dan berakhlak mulia.

Kedudukannya dalam Islam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya setiap umat memiliki orang tepercaya, dan kepercayaan umat ini adalah Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR. al-Bukhari Muslim, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus beliau bersama orang-orang Najran ke Yaman untuk mengajarkan Islam di sana. Sejak saat, itu beliau radhiyallahu ’anhu dijuluki sebagai al-Qawiyyul Amin (yang kuat lagi tepercaya). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menjadikan beliau sebagai pimpinan dalam sebuah pasukan.

Pada masa khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu sempat ditugasi untuk mengurusi baitul mal. Lalu beliau diangkat menjadi pemimpin pasukan di Syam, hingga mendapat julukan Amirul Umara’ Bisy Syam (pimpinan para komandan di Syam).

Pada masa khalifah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau diangkat sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan Islam menggantikan sahabat Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu. Menyebarkan cahaya tauhid ke berbagai penjuru dunia, hingga kaum muslimin dapat merebut Baitul Maqdis.

Tawadhu’ dan Zuhud terhadap Dunia

Sekian kali beliau mengalah dalam kepemimpinan pasukan. Sekian kali pula menyerahkan hak sebagai imam shalat kepada yang lain. Semua itu menunjukkan sikap rendah hati yang beliau miliki. Akhlak yang mulia ini menyebabkan banyak manusia segan dan memuliakannya.

Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah seseorang dari Bangsa Quraisy. Tidak ada seorangpun dari kalian yang berkulit merah atau hitam yang lebih bertakwa dariku, melainkan aku ingin menjadi seperti dirinya.”

Kedudukan tinggi tidaklah menyebabkan beliau terpukau oleh gemerlapnya dunia. Justru membuat semakin mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Suatu hari khalifah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang ke negeri Syam. Beliau lantas berkunjung ke kediaman Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu. Di dalam rumah tersebut, ‘Umar tidak menjumpai sesuatu pun kecuali sebilah pedang, perisai, dan pelana kuda.

“Mengapa engkau tidak memiliki barang-barang lain?” Tanya ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ini sudah cukup untuk mengantarkan kami ke tempat istirahat (surga).” Subhanallah..

Kedermawanannya dalam Kehidupan

Kedermawanan bukanlah semata sikap yang tumbuh dengan sendirinya pada diri seorang insan. Namun juga butuh sebuah pembiasaan. Terlebih Rasulullah radhiyallahu ‘anhu telah banyak memberikan teladan dalam hal ini.

Suatu hari, khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengirim utusan untuk memberikan uang sebanyak empat ratus atau empat ribu dinar masing-masing kepada Abu ‘Ubaidah dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma. Tak disangka, Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu malah membagi-bagikan seluruh uang tersebut. Hal serupa juga dilakukan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, hanya saja beliau menyisihkan sedikit dari uang itu.

Sampailah hal ini kepada ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau pun mengomentari, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan orang yang melakukan hal ini di dalam Islam.”

Semangat Berjuang di Jalan Allah subhanahu wata’ala

Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu bersama para sahabat lainnya senantiasa berupaya menegakkan agama Allah subhanahu wata’ala, membela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan melawan tirani kaum musyrikin. Begitu pula tatkala perang Badr, jiwa kesatria dan pengorbanan beliau terukir indah dalam sejarah. Hingga Allah subhanahu wata’ala menurunkan ayat-Nya pada surah al-Mujadilah: 22 perihal sepak terjang beliau.

Di tengah berkecamuknya perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami luka-luka. Dua mata rantai pada penutup kepala beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang terbuat dari besi menancap di wajah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu begitu pelannya melepaskan dua kepingan besi tersebut dengan dua gigi serinya hingga tanggal karenanya.

Beliau radhiyallahu ‘anhu seorang yang bersemangat dalam berjihad. Tak hanya itu, beliaupun kerap memberikan nasihat untuk berlomba meraih surga. Suatu hari di Syam, Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu berjalan di tengah pasukannya sembari mengingatkan, “Ketahuilah, betapa banyak orang yang memutihkan pakaiannya tapi mengotori agamanya. Ketahuilah, begitu banyak orang yang memuliakan dirinya padahal dia justru menghinakannya. Bersegeralah untuk menghapus kejelekan yang telah lalu dengan kebaikan-kebaikan yang baru. Seandainya salah seorang dari kalian melakukan kejelekan-kejelekan sepenuh langit kemudian melakukan satu kebaikan, maka semoga kebaikan tersebut bisa menutupi kejelekan-kejelekannya hingga terhapuslah kejelekan itu.”

Pada waktu yang lain, Khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu usai mendengar kabar penawanannya di Syam oleh pasukan Romawi, “Adapun setelah itu, sesungguhnya tidaklah seorang hamba yang beriman ditimpa kesusahan, kecuali Allah subhanahu wata’ala akan jadikan kelapangan setelahnya. Dan sesungguhnya satu kesusahan tidak akan mengalahkan dua kemudahan. ‘Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung’.” (Ali ‘Imran: 200)

Setelah membaca surat tersebut, Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu membalas, “Adapun setelah itu, sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala berfirman, ‘Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan…’.” (Al-Hadid:20)

Di atas mimbar, ‘Umar radhiyallahu ‘anhu kemudian membacakan surat Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu di hadapan kaum muslimin. Beliau lantas menyeru, “Wahai penduduk Madinah, sesungguhnya yang ditawarkan Abu ‘Ubaidah kepada kalian ataupun kepadaku adalah ‘Bersemangatlah dalam berjihad!”

Perhatian terhadap Kaum Muslimin

Ketika wabah tha’un (sejenis penyakit pes) melanda negeri Syam, khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu hendak menarik keberadaan Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu dari wilayah tersebut. Maka ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepadanya, “Sesungguhnya aku memiliki sebuah urusan dan sangat membutuhkan keberadaanmu. Maka bersegeralah datang padaku.”

Usai membaca surat tersebut, Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu membalasnya, “Sungguh aku mengetahui keperluanmu. Maka lepaskan diriku dari keinginanmu. Sesungguhnya aku berada di antara pasukan kaum muslimin, dan aku tidak bisa meninggalkan mereka.”

‘Umar radhiyallahu ‘anhu menangis tatkala membaca surat yang dikirim oleh Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu. Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah Abu ‘Ubaidah telah wafat?”. “Tidak, dan sepertinya sebentar lagi akan tiada”, jawab ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Akhir Kehidupannya di Dunia

Jumlah pasukan Islam yang berada di wilayah Syam sebanyak 36.000 tentara. Ketika wabah tha’un semakin menyebar, sebanyak 30.000 tentara dari kaum muslimin meninggal dunia. Wabah ini pun menimpa pada diri Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berada di ‘Amawas, sebuah daerah antara Ramlah dan Baitul Maqdis, Syam.

Menjelang wafatnya, Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu masih sempat menyebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang yang hadir kala itu. Dalam keadaan rambut diwarnai dengan inai dan al-katm (sejenis tumbuhan), Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu menghadap Rabb-nya. Tepat pada tahun 18 H, beliau pun meninggal dunia pada usia 58 tahun.

Jenazah beliau dishalati oleh kaum muslimin dengan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu sebagai imamnya. Umat Islam sangat bersedih dengan kepergiannya. Beliau radhiyallahu ‘anhu telah meninggalkan berbagai pelajaran yang berharga. Semoga Allah subhanahu wata’ala meridhainya.

Faidah Ilmu Hadits

Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya menyebutkan riwayat melalui Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu sebanyak satu hadits. Al-Imam Tirmidzi juga menyebutkan satu hadits dalam kitab Jami’-nya. Adapun al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya menyebutkan 12 hadits, dan al-Imam Baqi bin Makhlad menyebutkan 15 hadits dalam Musnad-nya.

Bahan Renungan

Para pembaca yang mulia, begitu mudah jemari merangkai kata demi kata memaparkan sosok mulia ini. Begitu pula kedua mata dengan tanpa beban membacanya. Tak sulit dan memang tak melelahkan.

Namun, adakah hati ini tergerak untuk merenung, melakukan muhasabah, dan kemudian mau kembali kepada Allah. Menyadari betapa jauhnya diri ini dari hakikat sebuah penghambaan kepada-Nya. Lantas, berupaya menghapus dosa-dosa di masa lalu dengan berbagai kebajikan…

Wallahu a’lam bish shawab

 

 

Hadits Palsu

 

صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِيْ إِذَا صَلَحَا صَلَحَ النَّاسُ: الأُمَرَاءُ والفُقَهَاءُ، [وفي رواية: العُلَمَاءُ]

 “Ada dua golongan dari umatku apabila keduanya baik maka baiklah seluruh umat manusia, dua golongan tersebut adalah umara` dan fuqaha` dalam riwayat lain ulama` (pemerintah dan ulama).” (Hadits Palsu)

Keterangan:

Hadits tersebut dikeluarkan oleh Tamam dalam al-Fawaid (1/238 ), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (4/96) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ul Bayan (1/184). Dari jalur Muhammad bin Ziyad al-Yasykuri dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas h secara marfu’. Ini sanad palsu, tentang Muhammad bin Ziyad ini, imam Ahmad berkata, “Ia adalah pendusta, buta sebelah matanya dan suka memalsukan hadits.” Ibnu Ma’in dan ad-Daraqudni berkata, “Ia adalah pendusta.” Abu Zur’ah juga mendustakannya. (Lihat Silsilah al-Ahaditsi adh Dha’ifah wal Maudhu’ah: 1/70-71)

Sumber: Buletin Al-Ilmu Edisi No. 25/VI/XI/1434H

No More Posts Available.

No more pages to load.