Menghiasi Diri dengan Dua Sifat Kemuliaan

oleh -35 views

oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-

[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]

Seorang hamba yang mau meraih kemuliaan selayaknya memiliki dua sifat mulia: tidak berharap-harap dan berkhayal mendapatkan sesuatu dari harta benda yang dimiliki oleh manusia. Tapi ia merasa cukup dengan karunia dan pemberian Allah. Kedua, ia menjadi seorang yang pemaaf bagi manusia jika muncul dari mereka sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya berupa kekeliruan, kekurangan dan khilaf yang muncul dari manusia biasa selama tidak sengaja melanggar batasan syariat.

Al-Imam Ayyub As-Sikhtiyaniy -rahimahullah- berkata,

لاَ يَسْتَوِي الْعَبْدُ أَوْ لاَ يَسُوْدُ الْعَبْدُ حَتَّى يَكُوْنَ فِيْهِ خَصْلَتَانِ الْيَأْسُ مِمَّا فِيْ أَيْدِي النَّاسِ وَالتَّغَافُلُ عَمَّا يَكُوْنُ مِنْهُمْ

“Seorang hamba tak akan sempurna atau mulia sampai ada dua perkara pada dirinya: Berputus asa dari sesuatu yang ada di tangan manusia dan lalai dari sesuatu yang muncul dari mereka”. [Lihat Hilyah Al-Awliya’ (3/5) oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy]

Inilah dua sifat dan perangai yang harus dijaga oleh seorang hamba agar ia dimuliakan oleh Allah serta dicintai oleh manusia yang hidup di sekitarnya. Sebaliknya ia akan dibenci dan dijauhi oleh manusia jika memiliki sifat serakah dan sifat marah atau tidak sabar.

Seorang di saat yakin terhadap taqdir Allah -Tabaroka wa Ta’ala-, maka hatinya tak akan tergantung dengan sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Ia tak akan mengemis, meminta-minta dan tidak pula hasad dan cemburu dengan harta benda dan perhiasan yang dimiliki oleh orang lain.

Allah -Azza wa Jalla- menerangkan hal itu di dalam Al-Qur’an,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ  [هود : 6]

“Dan tidak ada suatu binatang melata (yakni, makhluk) pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”. (QS. Huud : 6)

Di dalam ayat ini, Allah -Azza wa Jalla- menjelaskan bahwa rezqi semua makhluk telah ditanggung oleh Allah -Azza wa Jalla-. Setiap makhluk telah ditetapkan rezqinya masing-masing. Tak ada makhluk yang mendapatkan rezqi, kecuali memang itu telah menjadi bagian dan nasibnya. Demikianlah rezqi makhluk telah disempurnakan bagi setiap diantara mereka sampai mereka mati. Artinya, tak ada makhluk yang mati, selain ia telah mendapatkan semua bagiannya berupa rezqi.

Abul Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,

أخبر تعالى أنه متكفل بأرزاق المخلوقات، من سائر دواب الأرض، صغيرها وكبيرها، بحريها، وبريها، وأنه { يَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا } أي: يعلم أين مُنتهى سيرها في الأرض، وأين تأوي إليه من وكرها، وهو مستودعها.

“Allah -Ta’ala- mengabarkan bahwa Dia-lah yang menanggung semua rezqi makhluk-makhluk dari kalangan seluruh makhluk di bumi, yang kecil, maupun yang besar, yang di laut, maupun di darat; dan bahwa Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya, yakni mengetahui dimana akhir perjalanan makhluk-makhluk di bumi dan dimana ia kembali berupa sarang, yaitu tempat peraduannya”. [Lihat Tafsir Ibni Katsir (4/305)]

Jika seorang hamba meyakini perkara yang ada dalam ayat ini, maka ia akan meraih sifat zuhud, tak akan mengemis dari para makhluk, tak akan tertimpa sifat hasad yang tercela dan hatinya selalu lapang, sebab ia yakin bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah -Azza wa Jalla-.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy -rahimahullah- berkata,

فمن حقق اليقين وثق بالله في أموره كلها ورضي بتدبيره له وانقطع عن التعلق بالمخلوقين رجاء وخوفا ومنعه ذلك من طلب الدنيا بالأسباب المكروهة ومن كان كذلك كان زاهدا في الدنيا حقيقة وكان من أغني الناس وإن لم يكن له شيء من الدنيا

“Barangsiapa yang merealisasikan keyakinan rasa percayanya kepada Allah dalam setiap urusannya, ridho terhadap pengaturan-Nya, putus dari sikap ketergantungan kepada para makhluk, baik dalam hal mengharap atau takut, dan hal itu mencegahnya dari mencari dengan sebab-sebab (sarana) yang dibenci. Barangsiapa yang demikian, maka ia adalah orang yang zuhud terhadap dunia pada hakikatnya dan ia adalah manusia yang paling kaya, walaupun ia tak memiliki sesuatu apapun dari dunia ini”. [Lihat Jami’ Al-Ulum wal Hikam (hal. 290)]

Orang-orang yang seperti ini akan senantiasa terjaga kehormatannya di hadapan manusia. Ia akan dihargai oleh mereka, sebab ia tak pernah menampakkan kehinaannya dengan meminta-minta dan mengemis kepada manusia. Jika ia selalu menjaga wibawa dan kehormatannya, maka ia akan dicintai oleh sesama manusia

Demikian pula ia akan semakin dicintai oleh manusia jika ia memiliki sifat pemaaf terhadap kesalahan yang muncul dari sebagian manusia, yakni kesalahan yang masih bisa ditolerir, kesalahan yang muncul dari kelalaian, dan kejahilan. Kesalahan seperti ini tak akan luput dari manusia biasa.

Jika ada orang yang bersalah dan zhalim kepada dirinya, maka ia maafkan mereka di saat mereka meminta maaf kepadanya. Inilah ciri ketaqwaan yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ  [آل عمران : 133 ، 134]

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali Imraan : 133-134)

Disini anda perhatikan, Allah sebutkan bahwa orang yang pemaaf tergolong orang yang berbuat baik. Dengan perbuatan baiknya ia dicintai oleh Allah -Azza wa Jalla- dan tentunya ia juga akan dicintai oleh makhluk!!

Jika Allah mencintai seseorang, maka para malaikat dan semua makhluk  akan mencintainya. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي أَهْلِ الْأَرْض

“Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memanggil Jibril, “Sesungguhnya Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia”, lalu Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril berkumandang di kalangan penduduk langit, “Sesungguhnya Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia”, lalu penduduk langit pun mencintainya, lalu ditetapkanlah bagi orang itu penerimaan di kalangan penduduk bumi”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 6040) dan Muslim dalam Shohih-nya (2637)]

Ini merupakan mutiara ilmu yang amat berharga bahwa seorang hamba bila dincintai oleh Allah, maka ia pun akan dicintai oleh makhluk. Allah akan gerakkan hati para makhluk untuk mencintainya. Nah, disini ada isyarat bahwa kecintaan makhluk kepada seorang hamba merupakan tanda cintanya Allah -Azza wa Jalla- kepada hamba itu. Apalagi yang mencintai hamba itu dari kalangan orang-orang sholih lagi mukmin.

Al-Imam Badruddin Al-Ainiy Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata,

ويفهم منه أن محبة قلوب الناس علامة محبة الله عز وجل

“Dipahami darinya bahwa kecintaan hati para manusia merupakan tanda kecintaan Allah -Azza wa Jalla- (kepada seorang hamba)”. [Lihat Umdah Al-Qori (32/223)]

Para pembaca yang budiman, inilah dua sifat mulia jika ada pada diri seorang hamba, maka akan dicintai oleh sesama manusia, bahkan ia akan dicintai oleh Allah dan seluruh makhluk.

Sumber : pesantren-alihsan.org

No More Posts Available.

No more pages to load.