Kedzaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat

oleh -23 views

Apakah hewan aqiqah boleh disembelih di luar daerah/kota tempat si anak dilahirkan, karena di tempat kelahirannya tidak didapatkan orang-orang fakir yang membutuhkan daging, sementara di tempat lain ada orang-orang yang berhak mendapatkan sedekah? Ataukah tidak disyaratkan daging sembelihan aqiqah harus disedekahkan kepada fuqara?

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:
“Tempat penyembelihan aqiqah tidaklah harus di tempat khusus, boleh disembelih di daerah/negeri kelahiran si anak, boleh pula di luar tanah kelahirannya. karena penyembelihan aqiqah ini merupakan amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan ketaatan yang tidak dikhususkan tempatnya.
Tentang hewan aqiqah yang telah disembelih, maka hukumnya sama dengan hukum sembelihan kurban (Idul Adha) yaitu disenangi bagi yang mengaqiqahi untuk ikut memakannya, menyedekahkan beberapa bagian dari sembelihan tersebut dan juga dihadiahkan kepada tetangga dan teman-temannya.” (Majmu‘ Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/572)

Taubat dari Hasad dan Dengki

Saya ingin bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat hasad1, iri/dengki, dan saya telah berupaya sekuat tenaga untuk lepas dari sifat tersebut. Namun di banyak kesempatan, setan menghias-hiasi sifat tersebut kepada saya dengan jalan rasa cemburu. Jika saya cemburu kepada teman-teman saya sesama wanita atau cemburu melihat keberadaan wanita lain, tumbuhlah hasad saya. Saya pernah mendengar ucapan seorang teman: “Simpanlah rasa cemburu dan hasadmu di dalam hati, jangan engkau ucapkan dengan lisanmu. Jika demikian, engkau tidak akan berdosa.” Apakah benar ucapannya ini?

Samahatus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menjawab:
“Iya, bila anda merasa ada hasad yang timbul maka paksa jiwa anda untuk melawannya. Sembunyikan hasad tersebut, jangan melakukan suatu perbuatan yang menyelisihi syariat. Jangan anda sakiti orang yang anda hasadi, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar menghilangkan perasaan itu dari hati anda niscaya hal itu tidaklah memudaratkan anda. Karena jika (dalam hati) seseorang tumbuh hasad namun ia tidak melakukan apapun sebagai pelampiasan hasadnya itu maka hasad itu tidaklah memudaratkannya. Selama ia tidak melakukan tindakan, tidak menyakiti orang yang didengkinya, tidak berupaya menghilangkan nikmat dari orang yang didengkinya, dan tidak mengucapkan kata-kata yang menjatuhkan kehormatannya. Hasad/rasa dengki itu hanya disimpan dalam dadanya. Namun tentu saja orang seperti ini harus berhati-hati, jangan sampai ia mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan/tindakan yang memudaratkan orang yang didengkinya.
Berkaitan dengan hasad ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

“Hati-hati kalian dari sifat hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.”2
Sifat hasad itu adalah sifat yang jelek dan sebenarnya menyakiti dan menyiksa pemiliknya sebelum ia menyakiti orang lain. Maka sepantasnya seorang mukmin dan mukminah berhati-hati dari hasad, dengan memohon pertolongan dan pemaafan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang mukmin harus tunduk berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala -demikian pula seorang mukminah- dengan memohon dan berharap kepada-Nya agar menghilangkan hasad tersebut dari dalam hatinya, sehingga tidak tersisa dan tidak tertinggal sedikitpun. Karena itu, kapanpun anda merasa ada hasad menjalar di hati anda, hendaklah anda paksa jiwa anda untuk menyembunyikannya dalam hati tanpa menyakiti orang yang didengki, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Wallahul musta’an.”
(Kitab Fatawa Nur ‘Alad Darb, hal. 131-132)

1 Hasad adalah mengangan-angankan hilangnya nikmat yang diperoleh orang lain, baik berupa nikmat agama ataupun dunia.

Safar dengan Keponakan yang Belum Baligh

Apakah dibolehkan seorang wanita bepergian dari satu negeri ke negeri lain untuk berobat dengan ditemani anak laki-laki dari saudara perempuannya (keponakan) sementara si anak belum mencapai usia baligh?

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah menjawab:
“Bila si anak telah mumayyiz maka tidak apa-apa (menjadikannya sebagai mahram dalam safar). Umumnya anak yang telah mencapai usia 12 atau 13 tahun, ia telah mumayyiz. Sehingga tidak apa-apa safar bersamanya bila memang aman dari fitnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam masalah safar wanita:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أنْ تُسَافِرَ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar (bepergian jauh) kecuali ditemani oleh mahramnya. “
(Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 678)

2 HR. Abu Dawud. Namun hadits ini didhaifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Al-Ahadits Adl-Dha’ifah no. 1902, karena dalam sanadnya ada kakek Ibrahim bin Abi Usaid yang majhul. Tentang keharaman hasad ini telah ditunjukkan dalam hadits shahih dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَقَاطَعُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا، وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ

“Janganlah kalian saling benci, jangan saling hasad, jangan saling membelakangi (membuang muka saat bertemu) dan jangan saling memutus hubungan, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan (tidak bertegur sapa dengan) saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=415

No More Posts Available.

No more pages to load.