Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA – Ketiga (Revisi)

oleh -12 views

Siapa yang dusta…??! Siapa yang menuduh…?! atau… Siapa yang pandir…??!

Dalam bukunya tersebut Abduh ZA Meletakkan subjudul : Kedustaan-kedustaan Al Ustadz Luqman. Kemudian dia menyatakan :
“Sesungguhnya subjudul ini terasa berat diucapkan. Bagaimanapun juga sangat tidak enak mengatakan seorang ustadz berdusta. Akan tetapi, karena buku beliau yang kita bahas ini sudah terlanjur banyak dibaca orang –bahkan sudah dicetak ulang–, mengundang banyak pujian –yang terkadang berlebihan—dari kelompoknya sendiri, menaburkan benih fitnah, dan dianggap sebagai suatu kebenaran bagi sebagian kalangan, maka dengan sangat terpaksa kami sampaikan juga hal ini.” (hal. 137)

Potongan alinea tersebut dicuplik dalam sebuah pamflet acara “Kajian Ilmiah dan Bedah Buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?” di Masjid Diponegoro tanggal 19 November 2006 yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Aktivis Masjid Yogyakarta. Artinya point “kedustaan” ini lah diantara yang menjadi sorotan utama oleh saudara Abduh.

Jadi dengan terpaksa saudara Abduh ZA menyatakan Al-Ustadz Luqman Ba’abduh telah berdusta. Untuk itu dia menunjukkan tempat-tempat di mana Al-Ustadz Luqman Ba’abduh berdusta dalam buku MAT disertai dengan “bukti-bukti”.

Sebenarnya bagi orang yang mau “sedikit” saja membaca dengan cermat, akan tahu bahwa Abduh ZA hanya bermain-main kata saja sehingga mengesankan Al-Ustadz Luqman Ba’abduh telah berdusta, disertai dengan trik-trik yang mengesankan bahwa Al-Ustadz Luqman banyak terjatuh dalam kesalahan. Sebenarnya permasalahannya sangat sederhana dan sangat jelas, serta tidak memerlukan pembahasan yang rumit. Sehingga akan muncul pertanyaan siapa sebenarnya yang berdusta?

PERTAMA :
Perhatikan pada halaman 141-142 : Abduh mengetengahkan pembahasan :
Kedustaan Atas Nama Imam Asy-Syathibi. Kemudian Abduh ZA menyatakan :
“Selanjutnya, masih dalam deretan kalimat Al Ustadz Luqman, beliau menguatkan pendapatnya dengan mengutip perkataan Imam Asy-Syathibi yang menshahihkan hadits di atas. Namun, kembali kepada masalah kedustaan beliau atas Imam Asy-Syathibi. Benarkah Imam Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syathibi (w. 790 H) menshahihkan hadits yang beliau sebutkan di atas dalam kitab Al-I’thisham? Ternyata tidak demikian. Imam Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syathibi sama sekali tidak menshahihkan hadits tersebut seperti yang dikatakan oleh Al Ustadz Luqman. Bahkan, hadits yang dikomentari oleh Imam Asy-Syathibi bukanlah hadits dengan matan sebagaimana yang beliau sebutkan. Maaf, ini ada sedikit kesalahan dari Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh dalam menukil, yang barangkali tidak sengaja. Sebetulnya, hadits yang dikomentari dan terdapat dalam Al-I’thisham adalah hadits yang disebutkan oleh Al Ustadz Luqman sebelumnya……
Imam Asy-Syathibi berkata, “Dan dalam Sunan At-Tirmidzi ada tafsir hadits ini, tetap dengan sanad gharib dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dia (At-Tirmidzi) menyebutkan haditsnya, ‘Dan sesungguhnya Bani Israil telah berpecah belah … dst.”

Dari “bukti” yang disebutkan oleh tuan Abduh ZA di atas, ada beberapa point :
1. Al-Ustadz Luqman Ba’abduh menguatkan pendapatnya dengan mengutip perkataan Al-Imam Asy-Syathibi yang menshahihkan hadits di atas.
2. Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah tidak menshahihkan hadits tersebut di atas.
3. Hadits yang dikomentari oleh Al-Imam Asy-Syathibi bukanlah hadits dengan matan seperti yang disebutkan oleh Al-Ustadz Luqman.
4. Hadits yang terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi dengan (terjemahan) matan : ‘Dan sesungguhnya Bani Israil telah berpecah belah…dst’ dan dinukil dalam Al-I’thisham dinyatakan oleh Asy-Syathibi sebagai hadits gharib.
5.Hadits tersebut berasal dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Sebenarnya permasalahannya sangat jelas. Namun dengan permainan kata-katanya, Abduh ZA mengesankan pada para pembaca bahwa Al-Ustadz Luqman berdusta ketika menyatakan Al-Imam Asy-Syathibi menshahihkan hadits tersebut. Sebelum menjawab point-point itu perlu kami sajikan terlebih dahulu pernyataan Al-Ustadz Luqman dalam MAT footnote no 20 yang menjadi akar permasalahan.

Dalam footnote tersebut Al-Ustadz Luqman menyatakan :
“Hadits tentang iftiraqul ummah ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, antara lain : Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Anas bin Malik, ‘Auf bin Malik, Ibnu Mas’ud, Abu Umamah, ‘Ali bin Abi Thalib, Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhum.
Hadits ini adalah hadits yang shahih, dishahihkan para ‘ulama besar dari kalangan ahlul hadits Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Diantaranya : At Tirmidzi, Al Hakim, Adz Dzahabi, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Asy Syathibi dalam Al I’thisham, …”

Perlu pembaca ketahui, hadits tentang iftiraqul ummah itu tidak hanya diriwayatkan oleh satu orang shahabat saja, dan tidak hanya satu matan saja. Sehingga ketika Al-Ustadz Luqman menyatakan :
“Hadits tentang iftiraqul ummah ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, antara lain : …”
Maka yang dimaksud oleh beliau adalah hadits tentang iftiraqul ummah dengan segenap matan dan riwayatnya yang berbeda-beda.

Atas dasar itu pula ketika Al-Ustadz Luqman menyatakan :
“Hadits ini adalah hadits yang shahih, dishahihkan para ‘ulama besar dari kalangan ahlul hadits Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Diantaranya : …”

Maka yang beliau maksud adalah hadits tentang iftiraqul ummah dengan segenap matan dan riwayatnya yang berbeda-beda.
Perkara ini dapat dipahami dengan mudah bagi orang yang jujur dan pernah belajar tentang ilmu Mushthalahul Hadits.

Jika hal ini sudah dipahami dengan baik, mari kita membuka langsung kitab Al-Ithisham. Kebetulan kitab yang ada pada kami cetakan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut-Libanon, dengan dhabth naskah dan tashhih oleh Al-Ustadz Ahmad ‘Abdusy Syafi, dua juz yang dijadikan dalam satu jilid. Ma’af di dalam kitab itu tidak disebutkan cetakan ke berapa dan tahun ke berapa.

Kita buka pada bagian yang dimaksud oleh saudara Abduh. Kebetulan dalam cetakan yang kami punya terdapat dalam Juz II, halaman 408; Al-Imam Asy-Syathibi menyatakan :
صح من حديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : (( تفرقت اليهود على إحدى و سبعين فرقة، و النصارى مثل ذلك، و تتفرق أمتي على ثلاث و سبعين فرقة )) خرجه الترمذي هكذا.

و في رواية أبي داود قال : (( افترق اليهود على إحدى أو اثنتين و سبعين فرقة، و تفرقت النصارى على إحدى أو اثنتين و سبعين فرقة، و تفترق أمتي على ثلاث و سبعين فرقة )).

و في الترمذي تفسير هذا، بإسناد غريب عن غير أبي هريرة رضي الله عنه، فقال في حديث : (( و إن بني إسرائيل افترقت على اثنتين و سبعين فرقة و تفترق أمتي على ثلاث و سبعين ملة، كلهم في النار إلا واحدة قالوا : و من هي يا رسول الله؟ قال : ما أنا عليه و أصحابي ))
Artinya :
Telah shahih dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Yahudi telah berpecah menjadi 71 firqah (kelompok), dan Nashara juga demikian. Dan umatku juga akan berpecah menjadi 73 firqah.” At-Tirmidzi mengeluarkan hadits tersebut demikian.
Dan dalam riwayat Abu Dawud (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) bersabda : “Yahudi telah berpecah menjadi 71 atau 72 firqah. Nashara juga telah berpecah menjadi 71 atau 72 firqah. Dan umatku akan berpecah menjadi 73 firqah.”
Dan dalam (Sunan) At-Tirmidzi (terdapat, pent) tafsir terhadap (hadits, pent) ini, namun dengan sanad yang gharib dari selain Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, (Rasulullah) bersabda dalam sebuah hadits : “dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 firqah, dan umatku akan berpecah menjadi 73 millah. Semuanya di neraka kecuali satu millah saja.”
Para shahabat bertanya : ‘Siapakah mereka (yang selamat itu, pent) Wahai Rasulullah?’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Mereka adalah yang berada di atas jalanku dan jalan para shahabatku”

Sekarang kita jawab satu persatu “tuduhan” yang dinyatakan oleh Abduh terhadap Al-Ustadz Luqman :
1. Bahwa Al-Ustadz Luqman Ba’abduh mengutip perkataan Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah.
Jawaban : jelas ini merupakan kedustaan. Pembaca bisa melihat sendiri pada footnote no. 20 buku MAT yang telah kami nukil di atas, tidak satu patah kata pun dari pernyataan Al-Imam Asy-Syathibi yang dinukil oleh Al-Ustadz Luqman dalam bukunya MAT. Beliau hanya menyatakan : ” Hadits ini adalah hadits yang shahih, dishahihkan para ‘ulama besar dari kalangan ahlul hadits Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Diantaranya : … Asy Syathibi dalam Al I’thisham, …”

2. Bahwa Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah tidak menshahihkan hadits tersebut di atas. Jawaban : Dari penukilan kitab Al-I’thisham di atas, nampak dengan sangat jelas sekali, sejak awal pembahasannya Al-Imam Asy-Syathibi telah menyatakan : “telah dishahihkan pula oleh Asy-Syathibi dalam (Al-I’thisham) III/38
[lihat kitab beliau Ash-Shahihah hadits no. 204; I/405]
Entahlah… siapa yang lebih mengerti tentang hadits, Asy-Syaikh Al-Muhaddits ataukah tuan Abduh ZA?? Kalau begitu siapa yang berdusta atas nama Al-Imam Asy-Syathibi??

3. Bahwa Hadits yang dikomentari oleh Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah bukanlah hadits dengan matan seperti yang disebutkan oleh Al-Ustadz Luqman.
Jawaban : bahkan yang disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya ada tiga matan hadits yang berasal dari jalan riwayat yang berbeda-beda. Dan ketika Al-Ustadz Luqman mengomentari dalam footnote no. 20 yang beliau maksud adalah hadits tentang iftiraqul ummah dengan semua matan dan sanadnya, yang saling memperkuat antara yang satu dengan yang lainnya.

Sebelum menjawab point ke-4 dan ke-5, sekali lagi kami mohon agar para pembaca memperhatikan dengan seksama alinea ke-3 dari penukilan dari kitab Al-I’thisham di atas. Perhatikan pada bagian yang bergaris miring dan garis bawah, red. Kemudian bandingkan dengan terjemahan yang dibawakan oleh saudara Abduh ZA :

“Dan dalam Sunan At-Tirmidzi ada tafsir hadits ini, tetapi dengan sanad gharib dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dia (At-Tirmidzi) menyebutkan haditsnya, ‘Dan sesungguhnya Bani Israil telah berpecah belah … dst.” (miring dan garis bawah dari kami)

Jika sudah diperhatikan dengan seksama, berikut jawaban point ke-4 dan ke-5.

4. Bahwa Al-Imam Asy-Syathibi menilai hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi sebagai hadits gharib.
Jawaban : hal ini bukan berarti celaan terhadap derajat hadits. Karena dengan komentar tersebut, beliau hanya ingin menjelaskan bahwa sanad hadits tersebut, dengan konteks matan seperti itu, hanya dari satu jalur periwayatan saja.
5. Bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
Jawaban : Padahal jelas sekali bahwa Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah mengatakan : “…dari selain Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Dari uraian singkat dan sederhana di atas, pembaca sekalian bisa menilai : siapa yang berdusta? …atau siapa sih yang pandir…? Mohon ma’af, beribu-ribu ma’af, kami hanya bertanya. Semoga bisa dijawab dengan jujur.

KEDUA :
Pada halaman 143, Abduh ZA mengetengahkan pembahasan berjudul Kedustaan Atas Nama Imam Ibnu Katsir.
Kemudian Abduh menyatakan :
“Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh juga mengatakan bahwa Imam Ibnu Katsir menshahihkan hadits tersebut dalam tafsirnya. Ini pun tidak benar. Al Ustadz Luqman hanya mencatut nama besar Ibnu Katsir untuk mendukung apa yang beliau katakan. Terbukti, dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, ketika menafsirkan ayat 65 surat Al-An’am, dimana Ibnu Katsir menyebutkan hadits tersebut, beliau (Ibnu Katsir) sama sekali tidak menyinggung derajatnya………

Hanya sampai di sini perkataan Ibnu Katsir. Tidak ada komentar apa pun dari beliau (Ibnu Katsir), apalagi menyatakannya sebagai hadits shahih seperti kata Al Ustadz Luqman…”
Demikian penukilan secara ringkas.

Terdapat beberapa point yang perlu dicermati :
1. Tidak benar bahwa Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menshahihkan hadits tersebut dalam tafsirnya. Bahkan pada halaman berikutnya Abduh menegaskan bahwa Al-Ustadz Luqman telah berdusta atas nama Al-Imam Ibnu Katsir!
2. Buktinya adalah Al-Imam Ibnu Katsir sama sekali tidak menyinggung derajat hadits tersebut ketika menafsirkan ayat 65 surat Al-An’am.
3. Ketika menyebutkan hadits tersebut pada ayat 65 surat Al-An’am, Ibnu Katsir hanya sampai kalimat : (( إلا واحدة )) saja.

Sebelum kita membuktikan kejujuran saudara Abduh ZA, perlu kita semua menyadari, bahwa Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menulis tafsir Al Qur’an secara lengkap mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat An-Naas dalam beberapa jilid tebal. Sehingga perlu dibaca semua jika mau meneliti, jika tidak dijumpai di satu tempat, bukan berarti tidak ada atau tidak beliau sebutkan di tempat lain.

Sikap Abduh ZA yang begitu cepat memvonis dusta ini menunjukkan pada beberapa hal :
1. Abduh tidak memiliki kesabaran untuk menelaah Tafsir Ibni Katsir dengan cermat dan teliti.
2. Abduh tidak memahami dengan baik bagaimana metode dan sifat penulisan Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya
3. Metode ilmiah dan objektivitas yang selalu ia gembar-gemborkan dalam bukunya, ternyata jauh panggang dari api.
4. Ketidakjujuran saudara Abduh ZA, bahkan ia telah membodohi para pembaca.

Pembaca, sebagaimana vonis dusta sebelumnya, yaitu vonis dusta atas nama Al-Imam Asy-Syathibi, maka pada point ini pun, “bukti-bukti” yang ditunjukkan oleh saudara Abduh ZA tak lebih hanya seperti sarang laba-laba. Tentunya sangat menarik untuk mengupasnya. Insya Allah hal ini akan dijawab dan dikupas tuntas oleh Al-Ustadz Luqman dalam bukunya. Nantikan………

KETIGA :
Lagi, pada halaman 144, Abduh ZA menuduh Al-Ustadz Luqman berdusta dalam ungkapannya Kedustaan Atas Nama Syaikh Bin Baz (dan Hay’ah Kibar Al-Ulama).
Untuk mempersingkat, kami tidak menukilkan semua ucapan Abduh ZA di sini, karena terlalu panjang. Yang jelas, di tempat ini pun Abduh ZA dengan curang dan licik bermain kata-kata, untuk menggiring pembaca untuk sampai pada kesimpulan bahwa Al-Ustadz Luqman Ba’abduh berdusta.

Abduh meragukan keabsahan Surat Pencekalan atas DR. Safar Al-Hawali dan Salman Al-Audah dari Hai-ah Kibaril Ulama. Setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Abduh ZA. Sekali lagi untuk mempersingkat, alasan-alasan tersebut kami sebutkan intinya, kemudian langsung kami sebutkan jawaban dari masing-masing alasan yang dikemukakan Abduh tersebut.

Pertama : Surat tersebut bersifat rahasia, sehingga tidak mungkin bisa keluar dan menjadi konsumsi publik.
Jawaban :
Memang benar pada surat tersebut tertulis DOKUMEN RAHASIA. Yang demikian tidak mengharuskan surat tersebut tidak boleh disebarkan kepada umat selamanya. Kalau demikian adanya, maka apa fungsinya surat tersebut? Darimana umat akan tahu bahwa Hai-ah Kibaril ‘Ulama melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi ‘Arabia telah mengumumkan pencekalan atas DR. Safar Al-Hawali dan Salman Al-‘Audah?
Memang surat tersebut rahasia ketika awal dikeluarkannya , karena memang ditujukan kepada pejabat tinggi kerajaan. Namun seiring berjalannya waktu, kemudian surat tersebut disampaikan juga secara terbuka. Hal ini karena melihat adanya mashlahah yang cukup besar bagi umat yang dikandung oleh surat tersebut, dalam rangka melindungi umat dari kesesatan-kesesatan DR. Safar Al-Hawali dan Salman Al-‘Audah.

Perlu diketahui, bahwa kitab Madarikun Nazhar karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, yang memuat salinan naskah asli teks fatwa Hai-ah Kibaril ‘Ulama tersebut, telah dibaca dan direkomendasi oleh 2 ‘ulama besar Ahlus Sunnah yang terpercaya, dan beliau berdua lebih tahu dan lebih memahami tentang realita. Jika fatwa tersebut tidak benar adanya, atau dusta, atau ada sesuatu yang berbahaya dengan disebarkannya fatwa tersebut, niscaya kedua ‘ulama besar tersebut akan melarang dimuatnya salinan naskah asli “fatwa tandingan” tersebut. Jika Pembaca memiliki kitab Madarikun Nazhar tersebut, niscaya akan melihat salinan teks asli DOKUMEN RAHASIA tersebut. Hal ini membuktikan bahwa DOKUMEN RAHASIA tersebut benar adanya.

Dengan tersebarnya DOKUMEN RAHASIA tersebut, tidak ada pengingkaran, baik dari Hai-ah Kibaril ‘Ulama atau pun dari Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz secara khusus.

Demikian juga tidak ada pengingkaran dari Pemerintah Kerajaan Saudi ‘Arabia atas tersebarnya DOKUMEN RAHASIA tersebut. Bahkan konon Pemerintah Kerajaan Saudi ‘Arabia sendiri yang mengizinkan disebarkannya DOKUMEN RAHASIA tersebut.

Kedua : Bagaimana mungkin surat yang tertanggal 21-22/3/1414 H dibuat untuk diajukan pada tanggal 18/3/1414 H
Jawaban :
Dengan trik sangat licik ‘Abduh ZA bermain kata-kata. Bahkan dengan liciknya ia memberikan catatan kaki langsung pada surat yang ia nukil dari MAT dengan menyatakan :

“Perhatikan, surat dari Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia tertanggal 21-22/3/1414 H. Sementara pertemuan rutin Majelis Tinggi Ulama Saudi Arabia diselenggarakan tanggal 18/3/1414 H, alias tiga atau empat hari sebelumnya. Bagaimana mungkin surat yang tertanggal 21-22/3/1414 H dibuat untuk diajukan dalam pertemuan yang telah diselenggarakan beberapa hari sebelumnya?” (lihat fn. No.257 hal.147-148)

Sekali lagi ini bentuk kelicikan Abduh ZA! Coba perhatikan teks surat yang dinukil oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh (lihat MAT hal. 220-221):
“…untuk diajukan kepada Majelis Tinggi ‘Ulama Saudi Arabia dalam pertemuan rutinnya ke-41 yang diselenggarakan di Thaif sejak tanggal 18/3/1414 H, yang merupakan bagian dari program kerjanya…”

Perhatikan kata “sejak”. Jadi pertemuan rutin Hai-ah Kibaril ‘Ulama tersebut diadakan sejak 18/3/1414 H, yang berarti tanggal 18/3/1414 H adalah tanggal awal dimulainya pertemuan, bukan hari itu saja. Artinya pertemuan itu tidak hanya pada tanggal itu saja kemudian tidak berlanjut. Setelah tiga atau empat hari sidang berlangsung, barulah majelis menerima surat dari Menteri Dalam Negeri. Sangat mungkin dan sangat masuk akal bukan?

Perlu diketahui bahwa kantor Hai-ah Kibaril ‘Ulama itu berada di kota Riyadh. Dan ada juga kantornya yang terletak di kota Thaif. Sudah menjadi rutinitas Hai-ah ketika musim panas, untuk berpindah ke Tha-if. Di kantor tersebut Hai-ah mengadakan sidang rutin tahunan selama beberapa hari.
Letak kelicikan Abduh ZA ketika dia menyatakan dalam footnote :
“Sementara pertemuan rutin Majelis Tinggi Ulama Saudi Arabia diselenggarakan tanggal 18/3/1414 H, alias tiga atau empat hari sebelumnya”

Abduh ZA menghapus satu kata yang sangat penting, yaitu kata “sejak”. Kemudian dia menggiring para pembaca untuk mencocokkan tanggal. Maka tidak mungkin dan tidak masuk akal —demikian Abduh ZA menggiring— sidang dilaksanakan lebih dulu (tanggal 18/3/1414 H), sementara surat Mendagri datang kemudian (tertanggal 21-22/3/1414 H), yang berarti sidang sudah usai.

Pembaca, jika dalam perkara yang sangat mudah dan terang seperti ini Abduh ZA berani berbuat curang, lalu bagaimana dengan perkara yang rumit dan samar, yang tidak semua orang bisa dengan mudah mengetahuinya?

Ketiga : [Abduh ZA membawakan fatwa terakhir dari Asy-Syaikh bin Baz tertanggal 10/4/1414 H]
Jawaban :
Abduh ZA membawakan “fatwa tandingan” dari Asy-Syaikh bin Baz tertanggal 10/4/1414 H, yang berisi rekomendasi terhadap sejumlah da’i, yaitu Salman Al-‘Audah, Safar Al-Hawali, dll . Sementara surat yang dinukil oleh Al-Ustadz Luqman dari Hai-ah Kibaril ‘Ulama tertanggal 7 hari sebelumnya, yaitu 3/4/1414 H. Sehingga otomatis fatwa tertanggal 10/4/1414 H —menurut Abduh ZA— membatalkan fatwa tertanggal 3/4/1414 H.

Pembaca …demikianlah “Fatwa Tandingan” itu.
Ada beberapa hal yang perlu dijawab :
1.Abduh ZA menyebutkan tiga referensi sebagaimana tersebut dalam footnote no. 266. ketiga-tiganya merupakan situs internet. Dari ketiga sumber tersebut tidak satupun yang menunjukkan naskah asli teks fatwa tersebut. Bahkan pada sumber : http://www.abubaseer.bizland.com/verdicts/read/51-75.doc kami tidak mendapati fatwa tersebut sama sekali.
Sumber utamanya adalah sebuah situs pribadi milik Fadhilatusy Syaikh Shalahuddin ‘Ali ‘Abdul Maujud (www.salahmera.com). Fatwa ini muncul sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan yang dipublikasikan pada tanggal : 28/9/2005.
Adapun teks fatwa yang dibawakan oleh Al-Ustadz Luqman dalam bukunya MAT bersumber dari kitab Madarikun Nazhar, karya Asy-Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani, hal. 490 (cet VI/ 1423 H – 2002 M; Maktabah Al-Furqan). Dalam kitabnya tersebut, Asy-Syaikh ‘Abdul Malik menunjukkan salinan naskah asli teks fatwa tersebut.
Jika dibandingkan, mana yang lebih dapat dipertanggungjawabkan?

2. Naskah asli teks fatwa yang dibawakan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul Malik dalam kitabnya Madarikun Nazhar. Hingga cetakan ke-VI (th. 1423 H-2002 M) naskah tersebut masih ada tidak dihapus. Kitab Madarikun Nazhar tersebut telah dibaca dan direkomendasi oleh dua ‘ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu :
– Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
– Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah.
Tidaklah kedua ‘ulama tersebut memberikan rekomendasi kecuali setelah membaca secara keseluruhan isi kitab tersebut dari awal sampai akhir.

Jika seandainya salinan naskah asli teks fatwa Asy-Syaikh bin Baz tersebut —sebagaimana yang dibawakan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul Malik— adalah suatu yang dusta atas nama Hai-ah Kibaril ‘Ulama, atau sudah ada fatwa baru yang menghapus fatwa tersebut, niscaya kedua ‘ulama tersebut tidak akan ridha dengan dimuatnya naskah asli teks fatwa tersebut dalam kitab Madarikun Nazhar dan memerintahkan Asy-Syaikh ‘Abdul Malik untuk menghapusnya.
Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam rekomendasi beliau atas kitab Madarikun Nazhar tersebut, yang tertanggal 25/3/1418 H (empat tahun setelah surat Hai-ah Kibaril ‘Ulama, baik yang autentik maupun “fatwa tandingan” yang dibawakan oleh Abduh ZA) tidak mengingkari dimuatnya salinan naskah asli teks fatwa tersebut, bahkan beliau juga menjelaskan kesalahan-kesalahan DR. Safar Al-Hawali, Salman Al-‘Audah.

Mengakhiri pembahasan ini, kami bawakan jawaban Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah terhadap sebuah pertanyaan tentang keabsahan Fatwa Hai-ah Kibaril ‘Ulama tersebut di atas :

Pertanyaan : Sebagian pemuda menyangsikan keabsahan keterangan yang ditujukan seputar penyimpangan-penyimpangan Salman Al-‘Audah dan Safar Al-Hawali. Mereka mengatakan tentang ketidakbenaran penisbatan fatwa tersebut kepada Hai-ah Kibaril ‘Ulama, dan itu tidak lain adalah perkara yang diada-adakan atas nama mereka (Hai-ah Kibaril ‘Ulama) yang dilakukan oleh Pemerintah. Apakah tuduhan tersebut di atas benar atau sebaliknya?

Jawaban : Inilah tuduhan-tuduhan yang didoktrinkan kepada hizbiyyin oleh para pembesar mereka. Karena sesungguhnya sangat mungkin untuk mereka datang menemui Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan menanyakan kepada beliau tentang hal itu. Atau menulis surat kepada sebagian anggota Hai-ah Kibaril ‘Ulama, dan mereka semua masih ada.

Kemudian sesungguhnya kaum hizbiyyin tersebut berupaya untuk menjatuhkan kredibilitas Pemerintah (Kerajaan Saudi ‘Arabia, pent), bahwasanya Pemerintah sangat berambisi untuk memenjarakan para ‘ulama tanpa ada sedikitpun celah yang menghalangi pemerintah untuk melakukannya. Maka ini tentunya adalah suatu kedustaan dari pihak yang mengklaim tersebut.

Dan pemerintah ini, Alhamdulillah, adalah pemerintahan yang adil. Yang tidak ingin memenjarakan mereka hanya dengan sekadar cerita yang dilaporkan tentang mereka (Safar dan Salman, pent) hingga Hai-ah Kibaril ‘Ulama melakukan upaya penentangan dan dialog terhadap (pemikiran-pemikiran, pent) mereka, serta meminta mereka untuk ruju’ dari sepak terjang mereka, namun mereka menolak. Maka dalam kondisi seperti itu Hai-ah Kibaril ‘Ulama menetapkan untuk menghentikan dan melarang mereka dari berceramah dalam rangka melindungi masyarakat. Inilah teks fatwa tersebut…

Dan jika seandainya fatwa tersebut adalah sesuatu yang disusupkan kepada Hai-ah Kibaril ‘Ulama maka tidak mungkin mereka akan diam, lebih-lebih lagi bahwa fatwa tersebut bersumber dari Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz atas nama anggota Hai-ah Kibaril ‘Ulama secara keseluruhan, disertai cap stempel beliau yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri (Kerajaan Saudi ‘Arabia, pent). [lihat Itthaful Basyar Bikalamil ‘Ulama fi Salman wa Safar, hal. 15-16 atau lihat pula Al-Fatawa Al-Jaliyyah hal. 13]

Jawaban yang sama pun disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid bin ‘Abdillah Al-Jabiri hafizhahullah. Bahkan beliau menegaskan bahwa “fatwa tandingan” –sebagaimana yang terdapat pada situs Fadhilatusy Syaikh Shalahuddin ‘Ali ‘Abdul Maujud tersebut – tidak ada arsipnya dalam catatan arsip fatwa-fatwa Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah. [dinyatakan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Al-Ustadz Luqman kepada beliau dalam sebuah majelis di kediaman beliau di Madinah pada hari Sabtu sore tanggal 15 Juli 2006. jawaban terekam dalam kaset. Kasetnya ada pada Al-Ustadz Luqman]

  

Sekali lagi, Siapa yang dusta…??! atau Siapa yang pandir…??!

Menggiring Opini Seolah-olah yang Meledakkan WTC Adalah Umat Islam

Demikianlah, pada halaman 344 saudara Abduh ZA memberikan catatan ke-14 untuk MAT. Setelah menyebutkan penukilan-penukilan dari MAT yang membuktikan kebenaran catatannya ini, Abduh kemudian menyatakan :
“Demikianlah sejumlah nukilan dari buku Al Ustadz Luqman tentang peledakan gedung kembar WTC 11 September 2001, dimana beliau tampak sekali memaksakan opini seolah-olah kejadian tersebut adalah perbuatan umat Islam, yang kemudian beliau sebut-sebut sebagai teroris. Padahal, Amerikalah sesunggguhnya dalang di balik semua itu. Termasuk penciptaan opini bawa si fulan dan si fulan adalah teroris, …” (hal. 345).

Semestinya, sebagai bentuk sikap adil, Abduh ZA juga menukilkan bagian akhir Pengantar buku MAT cetakan pertama. (silahkan periksa MAT hal. 18-20 cetakan kedua/revisi)

Untuk sekedar membantu para pembaca budiman yang belum memiliki buku MAT berikut kami nukilkan pernyataan Al-Ustadz Luqman Ba’abduh tersebut :
“Sebagian pihak menyatakan bahwa kejadian WTC dan Pentagon itu dilakukan oleh Usamah bin Laden dengan jaringan Al Qaeda-nya. Inilah opini yang diblow-up oleh AS melalui segenap jaringan media massanya yang tersebar di seluruh dunia…
Sebagian pihak lagi menyatakan bahwa kejadian WTC dan Pentagon itu murni merupakan rekayasa AS. Pihak ini pun memiliki sekian bukti yang menguatkan hal itu, …
Namun yang jelas buku ini bukan untuk membuktikan mana diantara analisa di atas yang benar. Yang menjadi masalah adalah:
Usamah bin Laden mendukung dan bangga terhadap aksi 11 September 2001 itu…” (MAT : 18-19)

Jangan berkomentar atau bereaksi apa pun sebelum membaca yang berikut ini :

Didalam buku Nasehat dan Wasiat Kepada Umat Islam Dari Syaikh Mujâhid Usâmah bin Lâden, terbitan Granada Mediatama, cet. I/Rabi’ul Akhir 1425/Juli 2004, terdapat Wawancara Exclusive Al Jazeera dengan Syaikh Usamah bin Ladin Pasca 11 September 2001, pada hal. 189 Usamah bin Laden menegaskan :

“Jadi untuk menghentikan dan memotong kedzaliman kaum kuffar adalah dengan memerangi mereka. Tudingan bahwa peristiwa serangan 11 September itu didorong oleh ajakan kami, maka itu benar.”

Perhatikan pula perkataan Imam Samudra dalam bukunya “Aku Melawan Teroris!” hal. 186 (cet. I terbitan Jazera) :
“Seharusnya kaum muslimin dapat melihat secara jelas bahwa peristiwa Ghulam, yang pernah terjadi jauh sebelum zaman Nabi Muhammad saw, kembali terulang pada peristiwa istisyhad WTC 11 September 2001. Yang berbeda hanyalah jalan ceritanya, …”

Dua bukti ini cukup, menunjukkan bahwa “mereka” sendiri lah yang menggiring opini bahwa yang meledakkan WTC adalah umat Islam!

Dusta atas nama Al-Imam Al-Albani rahimahullah

Suatu kesalahan —kalau tidak mau dikatakan kedustaan—yang sangat konyol telah diperbuat oleh Abduh ZA. Yaitu ketika dengan sangat enteng sekali dia menyebutkan hadits pada halaman 343, kemudian dia memberikan footnote no, 668 dengan mengatakan :
“Hadits shahih. Syaikh Al-Albani tidak menyebutkan riwayat siapa dan dari siapa. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah/jilid 6/hlm 309/hadits nomor 2649/penerbit Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh/Cetakan pertama /1996 M – 1416 H.”

Membaca pernyataan saudara Abduh ZA ini kami terkejut. Adalah hal yang sangat aneh jika dalam kitab Silsilatul Ahaditsish Shahihah Asy-Syaikh Al-Albani tidak menyebutkan riwayat siapa dan dari siapa. Benar-benar suatu hal yang diluar kebiasaan beliau, karena dalam kitab tersebut beliau menetapkan keshahihan hadits-hadits yang beliau sebutkan dengan disertai pembahasan dan argumentasi-argumentasi ilmiah.

Mari kita lihat Ash-Shahihah pada no 2649 (VI/309) —kebetulan penerbit dan tahun cetakan yang kita punya sama persis — setelah menyebutkan matan/teks haditsnya, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah kemudian menyatakan :
أخرجه الطبراني في ” الأوسط ” ( 3 / 276 / 1 – مجمع البحرين ) : حدثنا محمد بن الحسن : ثنا يزيد بن موهب : أخبرني عمرو بن الحارث أن بكير بن عبد الله بن الأشج حدثه أن يزيد بن أبي عبيد مولى سلمة بن الأكوع حدثه أنه سمع سلمة بن الأكوع يقول : … فذكره
Artinya :
– “Hadits ini dikeluarkan (yakni diriwayatkan) oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (III/286/1 – Majma’ul Bahrain) : …(kemudian menyebutkan sanadnya, pent)… bahwa Yazid bin Abi ‘Ubaid Maula Salamah bin Al-Akwa’ mengkabarkan bahwa dia mendengar Salamah bin Al-Akwa’ berkata : (kemudian menyebutkan hadits).”
– Perhatikan bagian yang bergaris bawah. Jelas sekali bahwa Asy-Syaikh Al-Albani menyebutkan bahwa hadits tersebut diriwayat Ath-Thabarani.
– Perhatikan yang miring dan bergaris bawah. Jelas sekali, bahwa Asy-Syaikh Al-Albani menyebutkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari shahabat Salamah bin Al-Akwa’

Coba perhatikan betapa pandirnya saudara Abduh ZA dalam masalah ini. Atau kalau tidak mau dikatakan pandir alias bodoh, berarti Abduh ZA telah dusta!

‘Abdullah ‘Azzam dan Usamah

Pada halaman 137, Abduh ZA menyatakan :
“Darimana Al Ustadz Luqman tahu bahwa ini adalah doktrin yang diajarkan kepada Usamah bin Laden dan bahwa Usamah adalah murid DR. Abdullah Azzam?”

Pembaca yang budiman…………
Untuk kesekian kalinya, dengan begitu pe-denya dia berani mengkritik orang lain dalam suatu perkara yang disana data dan faktanya sangat jelas. Baiklah…kita simak berikut ini :
Dalam buku Bukan…Tapi Perang terhadap Islam karya Dr. Muhammad ‘Abbas terbitan Wacana Ilmiah Press (Cet. I/April 2004) — edisi Indonesia buku ini diberi pengantar oleh Ust. Abubakar Ba’asyir dan Ir. H . Muhammad Ismail Yusanto, MM Jubir HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)— disebutkan :
Pada halaman 271-272, di bawah pembahasan : Bagaimana Pemikiran Usamah Terbentuk, dinyatakan sebagai berikut :
“Tapi, di perguruan tinggi, ada dua tokoh yang memiliki pengaruh tersendiri dalam kehidupannya, yaitu Ustadz Muhammad Quthb dan Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam, karena Tsaqafah Islamiyah merupakan salah satu bidang studi wajib di Universitas.”
Kemudian pada halaman 272, di bawah pembahasan : Bin Ladin Memulai Jihad, dinyatakan sebagai berikut :
“Dr. Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam salah seorang yang dijumpai oleh Usamah pada masa itu, lantas menanamkan kecintaan jihad pada dirinya. ”
Kemudian pada halaman berikutnya (273), dinyatakan :
“Selama masa itulah, terjalin hubungan yang erat antara Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam dengan Usamah, …”

Demikianlah, ‘Abdullah ‘Azzam merupakan salah satu dari dua tokoh yang sangat berpengaruh pada Usamah bahkan terjalin hubungan yang erat.
keistimewaan’ buku Al Ustadz Abu ABdillah buran berbagai tuduhan tanonsumsi ar. DR. kannya fatwa tersebut, niscaya

  

KHATIMAH

Demikian kiranya hal-hal ringan dan sederhana dari buku STSK. Dari uraian ringkas di atas, siapapun akan bisa menilai sejauh mana bobot buku STSK sekaligus kualitas dan kredibilitas penulisnya.

Jika dalam perkara yang jelas Abduh ZA berani berbuat dusta, atau terjatuh dalam kesalahan, maka bagaimana kiranya dalam perkara-perkara yang membutuhkan perhatian dan pembahasan ekstra? Jika demikian tingkat kejujuran saudara Abduh ZA, kira-kira apakah kita masih mempercayai sejuta “data” dan “fakta” yang ia bawakan. Jika demikian bobot keilmiahan dan objektivitas buku STSK, masihkah kita tersilaukan dengan berbagai sumber rujukan yang selalu ia sebutkan dalam catatan kaki, demikian juga 193 referensi yang ia sebutkan dalam Daftar Pustaka?

Sekali lagi, semoga dengan tulisan singkat dan sederhana ini, bisa menyingkap selubung “keindahan” yang ada pada buku STSK yang dikemas dengan begitu menawan oleh saudara Abduh Zulfidar Akaha ini. Dan yang terpenting pula bisa sedikit memberikan “Pertolongan Pertama” dari dahaga umat akan cahaya ilmu yang haq.

Beberapa pihak telah mendahului Al-Ustadz Luqman Ba’abduh dalam membantah buku STSK. Mungkin para pembaca akan bertanya-tanya, “Kenapa tidak ada jawaban segera dari Al-Ustadz Luqman Ba’abduh sendiri?” Namun sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, bahwa :”Pemilik rumah itu lebih tahu tentang segala yang ada dalam rumahnya.” Ini beliau ucapkan ketika banyak para ‘ulama mendahului beliau dalam memberikan syarh (penjelasan) terhadap kitab karya beliau sendiri yang berjudul Nukhbatul Fikar. Sementara beliau sendiri justru belum menulis syarh-nya. Tentu saja Al-Hafizh selaku penulis kitab Nukhbatul Fikar lebih tahu dan lebih mengerti tentang segala hal yang berkaitan dengan kitab beliau tersebut. Sehingga beliau-lah yang lebih berhak untuk menulis syarh atas kitab karya beliau sendiri tersebut. Maka beliau tulislah kitab syarh dengan judul Nuz-hatun Nazhar.

Demikian juga Al-Ustadz Luqman selaku penulis buku MAT, yang dibantah oleh Abduh ZA dalam STSK, tentu beliau lebih pantas memberikan jawaban sekaligus bantahan, karena beliau lebih tahu segala hal yang berkaitan dengan buku yang beliau tulis tersebut.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq dan kemudahan kepada Al-Ustadz Luqman Ba’abduh untuk segera menyelesaikan penggarapan buku bantahan terhadap STSK. Nantikan pembahasan lengkap dan tuntas dalam buku tersebut.
Akhirnya, kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita agar senantiasa istiqamah di jalan dan manhaj yang Rasulullah dan para shahabatnya berada di atasnya. Inilah sesungguhnya jalan keselamatan di dunia dan di akhirat.

و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم، و الحمد لله رب العالمين

Ditulis oleh :
Abu ‘Amr Ahmad Alfian (thalib/santri di Ma’had As-Salafy Jember)
8 Dzul Qa’dah 1427 H / 29 November 2006 M

*** Bersambung, Insya Allah ***

Catatan kaki:
1. HR. Ibnu Majah 173, dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash Shahihah 2455.
2. Yakni Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin telah mengtaqridh kitab Madarikun Nazhar dan memberikan pengantar. Dalam pengantar kitab tersebut beliau menyinggung beberapa orang, yakni yang beliau maksud di situ adalah : ‘Aidh Al-Qarni, Salman Al-‘Audah, Safar Al-Hawali, dan Nashir Al-‘Umar, mereka adalah tokoh-tokoh utama kelompok Suriyyah dan Quthbiyyah. Bagi yang pernah membaca kitab Madarikun Nazhar pasti tahu perkara ini.
3. Yaitu pemikiran yang selalu digembar-gemborkan oleh Safar dan Salman.
4. Yakni bukan yang dimaukan oleh Syaikh : Rifqan (bersikap lembutlah) wahai Ahlus Sunnah terhadap Ikhwanul Muslimin, atau Rifqan wahai Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang gandrung dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb, Rifqan wahai Ahlus Sunnah terhadap pergerakan-pergerakan hizbiyyah …dst Tapi yang dituju dan dimaukan oleh syaikh dengan kitab tersebut adalah sesama/intern Ahlus Sunnah.
Sungguh saudara Abduh ZA telah menempatkan kitab dan perkataan Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin hafizhahullah tidak pada tempatnya. Hal seperti sering juga dilakukan.
5. Jawaban beliau hafizhahullah ini bisa dilihat pada http://www.misrsalaf.com/vb/showthread.php?t=658.
6. Abduh ZA menyebutkan 12 Februari tanpa menyebutkan tahun. Entah tahun berapa yang dia maksud.
Sementara itu penulis buku kacang goreng berjudul Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak menegaskan bahwa bubarnya FKAWJ dan Laskar Jihad adalah pada pertengahan Oktober. Mana yang benar?
7. Lihat Al-Ajwibatul Mufidah ‘an As-ilatil Manahijil Jadidah, hal. 90 (ta’liq).
8. Ibid.

(Dikutip dari tulisan Al Akh Abu ‘Amr Ahmad Alfian, Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA. Url sumber : http://www.merekaadalahteroris.com/abduh.pdf).

No More Posts Available.

No more pages to load.